Gallery

Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (9) [Bid’ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?-1]

Artikel sebelumnya di: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (8) [Salahkah Mengusap Muka Setelah Berdoa?]

 

F. Bid’ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?

ibnuabbaskendari.wordpress.com

ibnuabbaskendari.wordpress.com

Berjabatan tangan setelah dzikir bersama seusai sholat merupakan kebudayaan yang sudah ‘menasional’. Meskipun acara ini sudah terpisah dari dzikir, tetapi sudah dianggap masyarakat sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dzikir seusai sholat berjama’ah. Oleh karena itu, tidak lengkap rasanya, jika pembahasan koreksi kesalahan seputar dzikir setelah sholat tidak  membahas masalah ini.

 

Makna Jabat Tangan

Bersalam-salaman – dalam bahasa kita – diambil dari bahasa Arab yang bermakna (berjabat tangan). Disebut saling berjabat tangan apabila seseorang meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain (Lihat Lisanul Arab : 7/356 karya Ibnu Manzhur dan al-Mu’jamul Wasith hlm. 516) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]

 

Keutamaan Jabat Tangan

Jabat tangan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan muslim lainnya (dengan ikhlash dan kecintaan) apabila bertemu akan menggugurkan dosa-dosanya. Hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

إن المؤمن إذا لقي المؤمن فسلم عليه و أخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر

“Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” [Shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihahnomor 526, 2004, dan 2692].

Juga perkataan beliau dari Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu :

ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah [Shahih, lihat Ash-Shahiihah nomor 525]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)

Etika Berjabat Tangan

1. Berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri 

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunatkan dalam berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri. Berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah kamu meremekan suatu kebaikkan apapun sekalipun hanya menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”. Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu [Shahih Muslim (no. 2626)], dan masih banyak hadits lainnya yang membicarakan tentang hal ini.”[Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (4/476)]

2. Berjabat tangan dengan satu tangan.

Etika ini di ambil dari hadits yang memerintahkan untuk bermushafahah (berjabat tangan) karena itulah makna berjabat tangan secara etimologi.

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Memegang dengan satu tangan dalam berjabat tangan. Sungguh telah terdapat penjelasanya dalam banyak hadits, bahkan asal usul lafadz mushâfahah secara etimologi menunjukkan hal ini. Dalam kamus Lisânul Arab : “al-Mushâfahah” artinya memegang dengan satu tangan, dan begitu juga at-tashâfuh.

Dan mushafahah dalam hadits bermushafahah (berjabat tangan) tatkala berjumpa, termasuk dalam makna ini. Mushafahah adalah perbuatan yang saling melengketkan telapak tangan dengan telapak tangan dan wajah menghadap wajah (saling berhadapan)”.

Kemudian beliau membawakan hadits Hudzaifah diatas tentang keutamaan berjabat tangan seraya berkata : “Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah dalam berjabat tangan adalah memegang dengan satu tangan. Sedangkan apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berjabat tangan dengan dua tangan adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah.” [Silsilah ash-Shahihah (1/22-23)]

3. Tidak membungkuk Saat berjabat tangan, karena ini dilarang dalam agama.

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ

Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, salah seorang dari kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah ia menundukkan punggung kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia merangkul dan menciumnya ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya” [HR at-Tirmizi (no.2728). ia berkata: “Hadits hasan”].

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan “Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi sesorang, berdasarkan hadits Anan di atas, “Apakah kami menundukkan punggung” Beliau n menjawab, “Tidak”, dan tidak ada yang menyelisihi hadits ini. Dan jangan kamu tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shâlih dan semisal mereka.” [Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam Nawawi (4/635)] {http://almanhaj.or.id/content/3337/slash/0/berjabat-tangan-sunnahkah/}

 

Kapan Dianjurkan Berjabat Tangan?

Hadits di atas menunjukkan bahwa secara umum disyaria’atkan bagi seorang muslim berjabat tangan dan mengucapkan salam saat berjumpa dengan sesama muslim sebagaimana hadits yang telah jelas diatas, demikian kebiasaan para sahabat seperti yang dikatakan oleh asy-Sya’bi :

“Biasanya para sahabat Nabi jika saling berjumpa, mereka saling berjabat tangan, dan jika datang dari bepergian jauh mereka berpelukan.” (HR. Thobroni dalam al-Ausath : 3/270, Baihaqi : 7/100, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2647.)

Demikian juga disyari’atkan untuk saling berjabat tangan dan mengucapkan salam ketika hendak saling berpisah, sebagaimana keumuman hadits al-Baro’ bin Azib, beliau berkata :

“Termasuk di antara kesempurnaan penghormatan adalah jika engkau menjabat tangan saudaramu.” (Riwayat ini shohih, semua perawinya tsiqoh, lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah 1288).

 Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang (anjuran) berjabat tangan ketika saling berjumpa akan menjumpai hadits-hadits tersebut lebih kuat dibandingkan hadits-hadits anjuran berjabat tangan ketika saling berpisah, maka siapa yang mengerti dirinya, akan menarik kesimpulan bahwa saling berjabat tangan yang kedua (saat berpisah) anjurannya tidak sama tingkatannya dengan anjuran berjabat tangan yang pertama (saling berjumpa), yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua hanya dianjurkan, adapun perkataan bahwa (berjabat tangan saat berpisah) itu adalah bid’ah, maka perkataan ini tidak benar sebagaimana dalil yang kami sampaikan.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]

Dalam konteks shalat berjama’ah di masjid pun, jabat tangan ini hanya dilakukan ketika memasuki masjid dan terjadi pertemuan antara seseorang dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam riwayat :

عن عبد الله بن عمر يقول : خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى قباء يصلي فيه قال فجاءته الأنصار فسلموا عليه وهو يصلي قال فقلت لبلال كيف رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون عليه وهو يصلي قال يقول هكذا وبسط كفه وبسط جعفر بن عون كفه وجعل بطنه أسفل وجعل ظهره إلى فوق

Dari ’Abdillah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam keluar menuju Masjid Quba’ dan melakukan shalat di dalamnya. Maka datanglah sekelompok shahabat Anshar mendatangi beliau dan mereka mengucapkan salam ketika beliau sedang shalat”. Maka aku (Ibnu ’Umar) berkata kepada Bilaal : ”Bagaimana engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab salam mereka padahal ketika itu beliau sedang shalat ?”. Maka Bilal menjawab : ”Seperti ini”. Bilal membuka telapak tangannya. Ja’far bin ’Aun (perawi hadits ini – menjelaskan apa yang dijelaskan oleh Bilaal dengan mempraktekkan) membuka telapak tangannya dengan cara menjadikan telapak tangannya menhadap ke bawah, dan punggung telapak tangannya menghadap atas” [HR. Abu Dawud no. 927; shahih].

Juga sebagaimana kisah Ka’b bin Malik yang masyhur dimana ia menceritakan :

…..حَتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ حَوْلَه النَّاسُ ، فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ رضي الله عنه يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَني وَهَنَّأَنِي…..

”….Hingga ketika aku masuk masjid, ternyata Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk dikerumuni oleh orang-orang. Maka berdirilah Thalhah bin ’Ubaidillah radliyallaahu ’anhu berlari-lari kecil untuk menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku…” [HR. Bukhari no. 4156 dan Muslim no. 2769]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)

Hukum Mengkhususkan Jabat Tangan Setelah Sholat

Telah kita ketahui bersama bahwa mengucap salam dan berjabat tangan  dianjurkan kapan saja ketika sesama muslim saling berjumpa dan hendak berpisah. Sementara itu, tidak diketahui pada seorang pun dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta generasi berikutnya, bahwa mereka usai sholat langsung menyalami orang yang dikanan dan kirinya. Seandainya hal itu dilakukan oleh salah satu dari mereka, niscaya akan dijelaskan oleh para ulama dan akan sampai keterangannya kepada kita – walaupun hanya dengan hadits yang lemah, padahal kenyataannya tidak ada satu pun hadits yang menerangkan hal itu, bahkan banyak para ulama yang menegaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan bid’ah. (Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 293-294) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]

Agar hukum masalah ini lebih jelas, berikut kami tampilkan perkatan ‘ulama dari berbagai madzhab

1. ‘Ulama madzhab Hanafiyah

a. Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (6/381) berkata :

“Akan tetapi, dapatlah dikatakan bahwa menjadikan hal itu sebagai rutinitas yang dilakukan setelah selesai shalat yang lima waktu (itu merupakan satu kesalahan), sebab nanti orang-orang awam akan meyakini perbuatan itu sebagai suatu amalan yang sunnah yang biasa dilakukan pada tempat-tempat tersebut. Dan mereka juga akan meyakini bahwa perbuatan tersebut memiliki kelebihan tertentu dibandingkan amalan-amalan lainnya. Padahal mereka jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari kaum salaf pada tempat-tempat tersebut (yaitu jabat tangan seusai shalat). Begitulah juga ketika mereka menyatakan sunnahnya bagi kita untuk membaca tiga macam surat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas di dalam raka’at terakhir pada) shalat witir, bersamaan dengan itu mereka juga menganjurkan untuk meninggalkannya sesekali waktu, agar hal tersebut tidak dianggap wajib hukumnya. Dan telah dinukil dalam kitab Tabyiinil-Mahaarim dari Al-Multaqith; tentang pendapat dibencinya berjabat tangan setelah selesai shalat dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal itu disebabkan para shahabat tidaklah berbuat hal tersebut, dan hal itu merupakan sunnahnya kaum Rafidlah” ( = yaitu sebuah kelompok sesat).

b. Syaikh Mullah Ali Al-Qari Al-Hanafy telah berkata :

“Dimana posisi perbuatan ini dalam sunnah yang disyari’atkan (baca : Mana dalil tentang sunnahnya perbuatan ini – yaitu berjabat tangan seusai shalat) ? Untuk itulah, maka sebagian ulama kami telah memakruhkannya (membencinya) bila dilakukan pada saat tersebut (yaitu seusai shalat), dan hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang tercela” [lihat kitabTuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury].

c. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury berkata setelah menukil perkataan Al-Qaariy dan Al-Hafidh Ibnu Hajar :

”Perkaranya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Qaariy dan Al-Haafidh” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury]. {Yaitu beliau menyepakati perkataan Al-Qaariy dan Al-Haafidh tentang bathilnya pemutlakan pembagian bid’ah menjadi lima (yaitu bid’ah waajibahbid’ah muharramah,bid’ah makruuhahbid’ah mustahabbah, dan bid’ah mubaahah) dan bid’ahnya perbuatan berjabat tangan seusai shalat. Silakan lihat dalam referensi yang telah ditunjukkan.}

2. Ulama madzhab Malikiyyah 

Imam Ibnul-Hajj Al-Maliki berkata dalam kitabnya Al-Madkhal (2/219) :

“Dan patut baginya untuk melarang untuk melarang manusia dari melakukan apa yang telah mereka ada-adakan (dalam agama ini dengan) berjabat tangan setelah selesai shalat ‘Asar, shalat Shubuh, dan shalat Jum’at. Dan bahkan pada saat ini mereka juga telah melakukannya pula setelah shalat yang lima waktu. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah (yang terlarang)Adapun tempat yang benar (yang telah dibenarkan dalam agama) untuk melakukan jabat tangan itu adalah di saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya (yang muslim). Bukannya di setiap selesai dari shalat. Ketika agama ini mengajarkan kita demikian, maka hendaklah kita cukup mengikutinya saja (tanpa menambah-nambah). Maka wajib untuk melarang mereka dari berbuat hal tersebut. Dan hendaklah orang yang berbuat hal itu dicela lantaran apa yang telah ia perbuat menyelisihi sunnah” [lihat juga kitab Tahiyyatus-Salaam fil-Islaam 2/842].

3. Ulama madzhab Syafi’iyyah

a. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :

“(Perbuatan seperti itu – yaitu berjabat tangan setelah shalat) termasuk perbuatan bid’ah yang dibenci. Tidak ada asal-usulnya dalam agama ini. Dan wajib bagi setiap orang yang melakukannya untuk diperingati dalam kali yang pertama dan dihukum ta’zir pada kali yang kedua” [lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/381].

Beliau juga berkata :

“Yang telah ditunjuki dengan jelas oleh dalil-dalil sunnah, dan juga yang telah diungkapkan secara jelas oleh An-Nawawi dan yang lainnya adalah bahwa ketika terjadi pertemuan antara dua orang (muslim), maka disunnahkan atas setiap dari mereka untuk menjabat tangan saudaranya itu. Dan ketika hal itu tidak terjadi (yaitu pertemuan antara dua orang muslim) seperti berkumpulnya mereka dalam satu majelis dan tidak berpisah di antara mereka, maka tidaklah disunnahkan. Sama halnya dengan ini semua adalah (apa yang biasa diperbuat oleh kebanyakan orang) yang berjabat tangan seusai shalat, walaupun itu adalah shalat ‘Ied, atau juga (pertemuan untuk) pelajaran, ataupun juga hal-hal yang selain dari keduanya, bahkan kapan saja terjadi pertemuan antara keduanya,…. ketika ada kemungkinan perpisahan antara keduanya, maka hal itu disunnahkan. Sebaliknya, ketika tidak ada kemungkinan itu, maka tidak disunnahkan” [Al-Fataawaa Al-Kubraa 4/245].

b. Imam Al-‘Izz bin Abdis-Salaam mencela perbuatan ini dengan perkataannya :

”Berjabat tangan seusai shalat Shubuh dan ’Asar termasuk perbuatan bid’ah. Kecuali bagi orang yang baru datang dalam sebuah majelis lalu ia berjabat tangan dengan orang lain sebelum shalat. Sebenarnya, berjabat tangan merupakan hal yang disyari’atkan ketika seseorang baru datang. Adalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika shalat usai, beliau melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan, beristighfar tiga kali, kemudian setelah itu beliau baru menyingkir. Dan telah diriwayatkan bahwasannya beliau berdoa : ”Wahai Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan semua hamba-Mu”. Dan segala kebaikan hanyalah ada pada sikap itiiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam ” [Fataawaa Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam hal. 46-47]. 

c. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari) telah menyangkal orang yang memperbolehkan perbuatan itu dalam Fathul-Baari (12/324).

4. Ulama madzhab Hanabilah

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab Majmu’ Fataawaa-nya (23/339) :

Beliau ditanya tentang (hukum) berjabat tangan setelah selesai shalat : “Apakah perbuatan ini termasuk Sunnah atau bukan ?”

Kemudian beliau menjawab : “Alhamdulillah,…. berjabat tangan setelah selesai shalat itu bukanlah termasuk perbuatan yang disunnahkan. Akan tetapi hal itu termasuk perbuatan bid’ah. Allaahu a’lam”.

5. Ulama masa kini 

a. Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ (Komisi Tetap Riset/Pembahasan dan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya hal sebagai berikut :

“Apakah hukumnya berjabat tangan kepada seseorang yang telah selesai dari shalat dan mengucapkan salam kepada imam serta kepada orang-orang yang berada di samping kanan dan kirinya ?”

Maka mereka menjawab sebagai berikut :

“Apabila orang itu belum berjabat tangan ketika bertemu dengannya sebelum dia shalat, maka dia boleh untuk menjabat tangannya setelah dia salam, baik shalat yang wajib maupun sunat/nafilah, baik jama’ah yang ada di kiri maupun di kanannya. Dan apabila setelah shalat wajib, maka dia melaksanakan itu (yaitu berjabat tangan) adalah waktu selesai dzikir setelah selesai shalat. Adapun perbuatan makmum yang menyampaikan salam kepada imam setelah selesai dari shalat, maka kami belum mengetahui adanya sesuatupun (dalil) yang khusus (menerangkan) hal itu” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no. 3866].

b. Abul-Hasan Abdul-Hay Al-Luknawy (seorang fuqaahaa dan ahli hadits dari negeri India) berkata :

“Telah tersebar luas perbuatan bid’ah dan fitnah pada jaman kita sekarang ini di berbagai belahan negeri, yaitu dua hal yang sudah selayaknya patut untuk ditinggalkan :

Pertama, bahwasannya mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk ke masjid pada waktu shalat Shubuh. Akan tetapi mereka langsung masuk begitu saja dan mengerjakan shalat sunnah. Baru setelah itu mereka mengerjakan shalat fardlu. Mereka malah mengucapkan salam kepada sesama mereka setelah shalat telah usai. Ini adalah perbuatan yang buruk/jelek. Sesungguhnya mengucapkan salam itu hanyalah disunnahkan ketika adanya perjumpaan, sebagaimana yang telah tetap hal itu dalam hadits. (Mengucapkan salam itu) bukan dilakukan di tengah-tengah majelis yang sedang berlangsung.
Kedua, bahwasannya mereka berjabat tangan seusai shalat Shubuh, shalat ’Asar, shalat ’Iedain, dan shalat Jum’at dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyari’atkan. Padahal berjabat tangan itu hanyalah dilakukan di awal perjumpaan saja” [As-Si’aayah hal. 264].

Beliau menambahkan :

”Di antara ulama yang melarang berjabat tangan seusai shalat adalah Ibnu Hajar Al-Haitamiy Asy-Syafi’iy dan Quthbuddin bin ’Alaauddin Al-Makkiy Al-Hanafiy. Adapun Al-Faadlil Ar-Ruumiy dalam kitab Majaalisul-Abraar mengklasifikasikannya sebagai perbuatan bid’ah yang keji, dimana ia berkata : ’Berjabat tangan itu adalah perbuatan yang baik ketika bertemu, Adapun jika dilakukan selain waktu tersebut, seperti berjabat tangan seusai shalat Jum’at dan ’Iedain sebagaimana yang menjadi tradisi pada jaman kita, tidak ada hadits yang menjelaskan/mengajarkan hal seperti itu. Maka tinggallah perbuatan tersebut (dilakukan) tanpa adanya dalil, hingga harus dikatakan pada pembahasan ini : Segala sesuatu yang tidak memiliki dalil, maka ia adalah tertolak dan tidak boleh untuk diikuti” [idem].

”Selain itu para fuqahaa dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah secara jelas membenci perbuatan tersebut dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah. Dan dikatakan dalam kitabAl-Multaqath : ’Berjabat tangan seusai shalat merupakan perbuatan yang dibenci dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan para shahabat tidaklah berjabat tangan seusai shalat. Justru hal tersebut merupakan perbuatan kaum Rafidlah. Telah berkata Ibnu Hajar dari kalangan ulama Syafi’iyyah : ’Apa yang dilakukan manusia dari perbuatan berjabat tangan seusai shalat lima waktu adalah perbuatan yang dibenci (makruh), tidak ada asalnya dalam syari’at” [idem]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)

Lihat perkataan Al Laknuwi secara lebih lengkap di: http://almanhaj.or.id/content/3003/slash/0/salam-dan-berjabat-tangan-selesai-shalat/

c. Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah“Adapun saling berjabat tangan usai sholat, maka tidak diragukan itu bid’ah, kecuali jika dua orang belum saling berjumpa saat itu, maka disunnahkan saling berjabat tangan (usai sholat).” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/23) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]

d. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin mengatakan,”Banyak orang-orang shalat menjulurkan tangan-tanganya untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya. Ini dilakukan langsung setelah salam (selesai) dari shalat wajib sambil berdo’a dengan do’a taqabbalallahu. Perbuatan ini adalah bid’ah. Tidak diriwayatkan dari Salaf.” (Majalah Al Mujtama’, Edisi 855.) [http://almanhaj.or.id/content/3003/slash/0/salam-dan-berjabat-tangan-selesai-shalat/]

Bersambung ke: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (10) [Bid’ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?-2]

6 comments on “Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (9) [Bid’ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?-1]

  1. Koreksi..
    Anda menuliskan di atas.. Yaitu kaum salaf.. Jelas sekali kalau anda tidak memahami esensi makna kalimat salaf.. Kalimat salaf bukanlah penama’an kaum. Atau golongan.. Tetapi salaf adalah merujuk pada sebuah jaman atau masa yang sekarang banyak di selewengkan maknanya oleh segelintir orang untuk menisbatkan diri sebagai orang orang dari kaum salaf yang tujuan tidak lain untuk mendapatkan pembenaran daripada orang yang kurang berpengetahuan..

    Apapun itu di dunia ini pasti memiliki dua sisi.. Ada siang ada malah.. Ada baik ada buruk.. Ada halal ada haram.. Contoh mencuri apakah anda langsun. Mengkonotasikan kalau hal itu pasti perbuatan tercela dan perbuatan kriminal . .?? Aku yakin anda akan menjawa,” IYA, ” kalau itu jawaban anda maka terlihat jelas sungguh sempit cara pandang anda.. Karena tidak semua kalimat mencuri itu mengandung nilai-nilai tercela atau kriminal.. Contoh mencuri perhatian.. Dll.
    Begitu juga dengan BID’AH adakalanya bid’ah itu mengandung nilai-nilai terlarang dalam agama ada juga yang mengandung nilai bagus atau boleh dlm agama..
    Begitulah pemahaman yang adil dan logis.
    Apakah anda akan meminta contoh lagi.? Aku rasa penjelasan saya sudah cukup.. Pesan saya belajarlah agama yang lebih mendalam dahulu dari yang berkompeten dlm agama baru nulis di blog.

    • Sebenarnya syubhat-syubhat di atas terlalu panjang untuk dijawab, semoga yang sedikit ini bisa mewakili:
      1. Tentang salaf, berikut saya bawakan perkataan Syaikh Albany dengan diringkas
      … Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi bid`ah bid`ah.

      كل خير في اتباع من سلف وكل شر في ابتداع من خلف

      “Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.

      Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata : “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :

      ((خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم)).

      Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya (sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]

      Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.

      Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah, padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???

      Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”, sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda “al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya, maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia betul betul berada di atas petunjuk Robnya… (http://www.darussalaf.or.id/mengapa-salaf/kenapa-kita-harus-mengikuti-as-salaf/)
      Jika mengingingkan pejelasan yang lebih lengkap, bacalah link tersebut!
      2. Tentang bid’ah hasanah, saya pun mempunyai tulisan sendiri, jika mau, bacalah artikel berikut ini:
      https://abumuhammadblog.wordpress.com/2013/03/06/apakah-tidak-ada-kebidahan-dalam-ibadah-ghairu-mahdhah-1/; https://abumuhammadblog.wordpress.com/2013/03/06/apakah-tidak-ada-kebidahan-dalam-ibadah-ghairu-mahdhah-2/; https://abumuhammadblog.wordpress.com/2013/03/06/apakah-tidak-ada-kebidahan-dalam-ibadah-ghairu-mahdhah-3/
      Semoga Alloh ‘azza wa jalla membertikan hidayah bagi kita semua

    • PEEMAHAMAN YANG ADIL & LOGIS..?
      memang islam itu rahmatan lil ‘alamin, tetapi harus tegas juga terhadap adat istiadat yang menyimpang tidak sesuai syari’at.
      bukankah pada jaman dahulu juga memerangi kebiasaan adat orang quraisy jahiliyah..?
      Sedangkan mereka (kaum quraisy) juga percaya bahwa Allah itu tuhan semesta alam..?

Leave a comment