Gallery

Apakah Tidak Ada Kebid’ahan dalam Ibadah Ghairu Mahdhah (3)

Artikel sebelumnya di: Apakah Tidak Ada Kebid’ahan dalam Ibadah Ghairu Mahdhah (2)

 

pendakianmenujusurga.wordpress.com

pendakianmenujusurga.wordpress.com

 

2. Syubhat Bid’ah Hasanah (http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/93-syubhat-syubhat-para-pendukung-bidah-hasanah)

Pembahasan ini merupakan tambahan, setelah kita jelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat, untuk membantah apakah ada bid’ah mahmudah / hasanah atau tidak.

Diantara syubhat yang paling santer, mereka berdalil dengan perkataan beberapa ulama yang mengesankan dukungan terhadap adanya bid’ah hasanah. Diantaranya adalah perkataan Imam As-Syafi’i dan perkatan Al-Izz bin Abdissalam rahimahumallah.

Adapun perkataan Imam As-Syafi’i maka sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad beliau hingga Harmalah bin Yahya-,

ثَنَا حَرْمَلَة بْنُ يَحْيَى قَالَ : سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي يَقُوْلُ : البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ، وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ

Dari Harmalah bin Yahya berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”, dan Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Hilyatul Auliya’ 9/113)

Bahkan Al-‘Iz bin Abdissalam mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima (wajib, mustahab, haram, makruh, dan mubah), beliau berkata,

“Bid’ah terbagi menjadi bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang mandub (mustahab), bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang mubah. Cara untuk mengetahui hal ini yaitu kita hadapkan bid’ah tersebut dengan kaidah-kaidah syari’at, jika bid’ah tersebut masuk dalam kaidah-kaidah pewajiban maka bid’ah tersebut wajib, jika termasuk dalam kaidah-kaidah pengharaman maka bid’ah tersebut haram, jika termasuk dalam kaidah-kaidah mustahab maka hukumnya mustahab, dan jika masuk dalam kaidah-kaidah mubah maka bid’ah tersebut mubah. Ada beberapa contoh bid’ah yang wajib, yang pertama berkecimpung dengan ilmu nahwu yang dengan ilmu tersebut dipahami perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari’at hukumnya wajib dan tidak mungkin menjaga syari’at kecuali dengan mengenal ilmu nahwu, dan jika suatu perkara yang wajib tidak sempurna kecuali dengan perkara yang lain maka perkara yang lain tersebut hukumnya wajib. Contoh yang kedua adalah menjaga kata-kata yang ghorib (asing maknanya karena sedikit penggunaannya dalam kalimat) dalam Al-Qur’an dan hadits, contoh yang ketiga yaitu penulisan ushul fiqh, contoh yang keempat pembicaraan tentang al-jarh wa at-ta’dil untuk membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang lemah. Kaidah-kaidah syari’at menunjukan bahwa menjaga syari’at hukumnya fardlu kifayah pada perkara-perakra yang lebih dari ukuran yang ditentukan dan tidaklah mungkin penjagaan syari’at kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan (di atas).”

Ada beberapa contoh bid’ah yang haram, diantaranya madzhab Qodariyah, madzhab Al-Jabariah, madzhab Al-Murji’ah, dan membantah mereka termasuk bid’ah yang wajib.

Ada beberapa contoh bid’ah yang mustahab diantaranya pembuatan Ar-Robt dan sekolah-sekolah, pembangunan jembatan-jembatan, dan setiap hal-hal yang baik yang tidak terdapat pada masa generasi awal, diantaranya juga sholat tarawih, pembicaraan pelik-pelik tasowwuf (sejenis mau’idzoh yang sudah ma’ruf), perdebatan di tengah keramaian orang banyak dalam rangka untuk beristidlal tentang beberapa permasalahan jika dimaksudkan dengan hal itu wajah Allah. Contoh-contoh bid’ah yang makruh diantaranya menghiasi masjid-masjid, menghiasi mushaf (Al-Qur’an), adapun melagukan Al-Qur’an hingga berubah lafal-lafalnya dari bahasa Arab maka yang benar ia termasuk bid’ah yang haram.

Contoh-contoh bid’ah yang mubah diantaranya berjabat tangan setelah sholat subuh dan sholat ashar, berluas-luas dalam makanan dan minuman yang lezat, demikian juga pakaian dan tempat tinggal, memakai at-thoyaalisah (sejenis pakaian yang indah/mahal) dan meluaskan pergelangan baju. Terkadang beberapa perkara diperselisihkan (oleh para ulama) sehingga sebagian ulama memasukannya dalam bid’ah yang makruh dan sebagian ulama yang lain memasukannya termasuk sunnah sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sepeninggal beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini seperti beristi’adzah dalam sholat dan mengucapkan basmalah.” (Qowa’idul ahkam 2/173-174)

 

Kita Jawab:

Dari penjelasanyang telah lalu, maka secara umum dapat kita simpulkan bahwa bid’ah adalah segala perkara yang terjadi setelah Nabi, sama saja apakah perkara tersebut terpuji ataupun tercela dan sama saja apakah perkara tersebut suatu ibadah maupun perkara adat.

a. Jawaban terkait ucapan Imam Syafi’i

Pertama : Sangatlah jelas bahwasanya maksud Imam As-Syafii adalah pengklasifikasian bid’ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob :”Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)”. Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kedua : Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi’i ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa’ wa Al-Lughoot (3/23)

“Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”(lihat juga manaqib As-Syafi’i 1/469)

Lihatlah Imam As-Syafi’i menyebutkan bahwa bid’ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi’i menghendaki dengan bid’ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid’ah jika ditinjau dari sisi bahasa.

Ketiga : Oleh karena itu tidak kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid’ahpun dari bid’ah-bid’ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid’ah hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid’ah hasanah bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku bid’ah zaman sekarang ini.

Diantara amalan-amalan yang dianggap bid’ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafii adalah :

– Acara mengirim pahala buat mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan, baca Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90

– Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai mesjid atau tempat ibadah, baca Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu’ syarhul Muhadzdzab 5/280, dan Al-Umm 1/277

– Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu, baca Al-Baa’its ‘alaa inkaar Al-Bida’ wa Al-Hawaadits hal 48 dan penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)

Keempat : Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari’at”

(Perkataan Imam As-Syafi’i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi’i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur’aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)

Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakekatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari’at yang baru.

 

b. Jawaban  terkait ucapan Al-‘Iz bin Abdissalam

Pertama : Jika kita perhatikan perkataan Al-‘Iz bin Abdissalam secara lengkap dengan memperhatikan contoh-contoh penerapan dari pengklasifikasiannya terhadap bid’ah maka sangatlah jelas maksud beliau adalah pengklasifikasian bid’ah menurut bahasa, karena contoh-contoh yang beliau sebutkan dalam bid’ah yang wajib maka contoh-contoh tersebut adalah perkara-perkara yang termasuk dalam al-maslahah al-mursalah (yaitu perkara-perkara yang beliau contohkan yang berkaitan dengan bid’ah wajib) bahkan beliau dengan jelas menyatakan bahwa syari’at tidak mungkin dijalankan kecuali dengan bid’ah yang wajib tersebut.

As-Syathibi berkata “Sesungguhnya Ibnu Abdissalam yang nampak darinya ia menamakan maslahah mursalah dengan bid’ah karena perkara-perkara maslahah mursalah secara dzatnya tidak terdapat dalam nas-nas yang khusus tentang dzat-dzat mashlahah mursalah tersebut meskipun sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at…dan ia termasuk para ulama yang berpendapat dengan mashlahah mursalah, hanya saja ia menamakannya bid’ah sebagaimana Umar menamakan sholat tarawih bid’ah” (Al-I’tishom 1/192)

Demikian juga bid’ah yang mustahab, berkaitan dengan wasilah dalam menegakkan agama. Sholat tarawih adalah termasuk perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan sholat tarawih secara berjama’ah bersama para sahabatnya beberapa malam. Dan pada tahun yang lain Nabi meninggalkan tarawih karena dikawatirkan akan diwajibkan karena tatkala itu masih zaman diturunkannya wahyu (ta’syri’). Hal ini menunjukan pada asalnya Nabi sholat malam bersama para sahabatnya dan di waktu yang lain beliau meninggalkannya karena kekawatiran akan diwajibkan. Namun kekawatiran ini tidak terdapat lagi di zaman Abu Bakar dan Umar. Hanya saja Abu akar tidak melaksanakan sholat tarawih karena ada dua kemungkinan, yang pertama karena mungkin saja ia memandang bahwa sholat orang-orang di akhir malam dengan keadaan mereka masing-masing lebih baik dari pada sholat di awal malam dengan mengumpulkan mereka pada satu imam (hal ini sebagaimana disebutkan oleh At-Thurtusi), atau karena kesibukan beliau mengurus negara terutama dengan munculnya orang-orang yang murtad sehingga beliau harus memerangi mereka yang hal ini menyebabkan beliau tidak sempat mengurusi sholat tarawih. (lihat Al-I’tishom 2/194)

Demikian contoh-contoh lain dari bid’ah mustahab (hasanah) yang disampaikan oleh beliau diantaranya : pembangunan sekolah-sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu, dan pembicaraan tentang pelik-pelik tasawwuf yang terpuji adalah termasuk bab mau’izhoh (nasehat) yang telah dikenal.

Kedua : Dalam contoh-contoh bid’ah yang disyari’atkan (baik bid’ah yang wajib maupun bid’ah yang mustahab) sama sekali beliau tidak menyebutkan bid’ah-bid’ah yang dikerjakan oleh para pelaku bid’ah (Seperti sholat rogoib, maulid Nabi, peringatan isroo mi’rooj, tahlilan, dan lain-lain) dengan dalih bahwa bid’ah tersebut adalah bid’ah hasanah, bahkan beliau dikenal dengan seorang yang memerangi bid’ah.

Ketiga : Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah bid’ah-bid’ah yang disebut-sebut sebagai bid’ah hasanah.

Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-‘Iz bin Abdissalam),

“Beliau (Al-‘Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid’ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya’ban dan melarang kedua sholat tersebut” (Tobaqoot Asy-Syafi’iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-‘Iz bin Abdissalam)

Selengkapnya, bacalah situs tersebut.

Berikut ini kumpulan bantahan terhadap syubhat para pembela bid’ah hasanah (silahkan disimak jika mau):

1. http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/93-syubhat-syubhat-para-pendukung-bidah-hasanah

2. http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/297-syubhat-kedua-sabda-nabi-seluruh-bid-ah-sesat-adalah-lafal-umum-tapi-terkhususkan

3. http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/300-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-ketiga

4. http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/302-syubhat-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keempat

5. http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/308-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-kelima

6. http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/338-syubhat-syubhat-para-pendukung-bid-ah-hasanah-syubhat-keenam

7. http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html

Dengan ini jelaslah bahwa klaim seseorang bahwa ada bid’ah isthilahi yang mahmudah / hasanah / terpuji merupakan kesalahan. Perkataan ulama terkait bid’ah hasanah hanya diartikan secara bahasa karena perkara-perkara yang dicontohkan sebagai bid’ah hasanah tersebut hanya terkait al-maslahah al-mursalah.

 

Simpulan dan Penutup

Cukuplah ucapan Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i ini sebagai kesimpulan:

أَنَّ الْبِدْعَةَ الشَّرْعِيَّةَ لاَ تَكُوْنُ إِلاَّ ضَلاَلَةً بِخِلاَفِ اللُّغَوِيَّةِ

“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206) [http://firanda.com/index.php/artikel/manhaj/92-semua-bidah-adalah-kesesatan]

Hendaknya kita beribadah ikhlas hanya kepada Alloh di atas ilmu, bukan hanya mengikuti kebanyakan orang, kemudian membela mati-matian atas apa yang telah kita amalkan bertahun-tahun.

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah) [http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html/comment-page-2]

Kalo masih ngeyel juga ya saya barangkali bisa bertanya, kenapa antum yang mengatakan bid’ah itu hanya dalam kegiatan ibadah mahdhah (murni ibadah) seperti shalat, puasa, haji, dll, membolehkan juga berbuat bid’ah dalam ibadah mahdhah? Mereka melakukan shalat Raghaib, puasa Rajab, puasa mutih, dzikir berjama’ah, melafalkan niat, dll yang merupakan ibadah mahdhah. (http://kangaswad.wordpress.com/2009/08/13/keanehan-keanehan-pelaku-bidah/)

Semoga Alloh yang bersemayam di atas ‘Arsy menunjuki saudara-saudara kita kaum muslimin untuk berusaha meninggalkan taklid dan mengedepankan ilmu di atas amal.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ

Allahumma inni nas-alukal huda was sadaad” [Ya Allah, kami meminta kepada-Mu petunjuk dan kebenaran] (HR. Muslim no. 2725 – dhomirnya saya ganti dengan “na”) (http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3018-doa-meminta-petunjuk-dan-kebenaran.html)

Wallohu a’lam. Semoga Sholawat dan Salam selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.

 

Abu Muhammad

Palembang, 24 Robi’uts Tsani 1434 H / 6 Maret 2013

Download dalam bentuk pdf, artikel: APAKAH TIDAK ADA KEBID’AHAN DALAM IBADAH GHAIRU MAHDHAH? (1 s.d. 3, lengkap)

2 comments on “Apakah Tidak Ada Kebid’ahan dalam Ibadah Ghairu Mahdhah (3)

  1. Assalaamu’alaikum
    jazakumullahu khairan. terimakasih ustadz atas pencerahannya, sangat bermanfaat. izinkan ana untuk menshare artikel ini, kiranya berkenan, Wassalaamu’alaikum.

Leave a comment