Gallery

Hukum-hukum Seputar Puasa Sunnah (4) [Fawaid Lainnya]

Artikel sebelumnya di: Hukum-hukum Seputar Puasa Sunnah (3) [Polemik Puasa Hari Sabtu]

 

c3centralcity.org

c3centralcity.org

Untuk melengkapi pembahasan hukum-hukum seputar puasa sunnah ini, berikut ini fawaid yang dapat penulis kumpulkan dari berbagai sumber

1. Dua Waktu lain (selain yang telah disebutkan di artikel ini dan ini) yang Dianjurkan untuk Berpuasa

Pertama, memilih puasa sunah di musim dingin

Berdasarkan hadis, dari Amir bin Mas’ud Al-Jumhi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصوم في الشتاء الغنيمة الباردة

“Puasa di musim dingin adalah ghanimah yang segar” (HR. Ahmad 18959 , Turmudzi 797, Ibnu Khuzaimah 2145, dan Ibn Abi Syaibah 9741).

Keshahihan hadis ini diperselisihkan ulama. Sebagian menilai sebagai hadis lemah, karena perawi hadis ini, Amir bin Mas’ud Al-Jumhi adalah seorang tabiin bukan sahabat. sehingga hadis ini statusnya mursal yang lemah. Ini adalah keterangan Syuaib Al-Arnauth.

Sementara sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hadis ini statusnya hasan. Karena terdapat banyak riwayat lain yang saling menguatkan. Sebagaimana keterangan dalam Silsilah As-Shahihah no. 1922.

Dalam Tuhfatul Ahwadzi syarh sunan Turmudzi dinyatakan,

“Ghanimah segar berupa puasa di musim dingin’ karena akan mendapatkan pahala tanpa capek dan usaha yang banyak…. Artinya, orang yang puasa di musim dingin, memborong banyak pahala, tanpa mengalami panasnya rasa haus, atau terasa sakit karena lapar disebabkan siang yang panjang.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/427)

Hadis ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa ketika seorang mukmin ingin memperbanyak puasa sunah, dia bisa memilih musim dingin, yang waktu siangnya lebih pendek dibandingkan waktu malamnya, sehingga tidak memberatkan dirinya.

Kedua, Puasa ketika di medan jihad

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan jauhkan dirinya dari neraka sejauh 70 tahun (perjalanan).” (HR. Bukhari 2840, Muslim 1153, Nasai 2244 dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, dari Abu Umamah Al-Bahili, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ جَعَلَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan jadikan sebuah parit yang memisahkan antara dia dan neraka, sebagaimana jarak antara langit dan bumi.” (HR. Turmudzi 1624, dan dishahihkan Al-Albani).

Makna ‘fi sabilillah’

Ada dua pendapat ulama tentang makna kata ‘fi sabilillah’,

1. Makna ‘fi sabilillah’ adalah ikhlas karena Allah, sehingga orang yang puasa ikhlas karena Allah, bisa disebut puasa fi sabilillah.

2. Makna ‘fi sabilillah’ adalah jihad di jalan Allah. Sehingga pahala puasa yang besar dalam hadis di atas, hanya diberikan untuk orang yang puasa di saat melakukan perjalanan jihad atau ketika berjaga di daerah perbatasan.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua. Karena hadis ini bertujuan menjelaskan nilai istimewa puasa di jalan Allah. Sementara ikhlas adalah syarat diterimanya semua bentuk ibadah di semua keadaan. Sehingga tidak ada hal yang istimewa ketika ‘fi sabilillah’ di artikan ikhlas karena Allah. Demikian keterangan Imam Ibnu Utsaimin dalam Syarh Muntaqa Al-Akhbar. (http://www.konsultasisyariah.com/macam-macam-puasa-sunnah/#)

2. Hari-hari lain (selain menyendirikan Jumat dan Sabtu – sebagaimana pembahasan sebelumnya) yang terlarang untuk berpuasa sunnah (tathawwu’) adalah sebagai berikut:

a. Dua Hari Raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha)

Dari Abu ‘Ubaid, budak yang dimerdekakan Ibnu Azhar, ia berkata, “Aku merayakan hari ‘Id bersama ‘Umar bin al-Kaththab Radhiyallahu anhu, kemudian dia (‘Umar) berkata, ‘Ini adalah dua hari yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berpuasa padanya, hari di mana kalian berbuka puasa dan hari yang lainnya, hari di mana kalian memakan hewan kurban kalian.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/238/1990), Shahiih Muslim (II/799/1137), Sunan Abu Dawud (VII/61/2399), Sunan at-Tirmidzi (II/135/769), Sunan Ibnu Majah (I/549/1722)]

b. Hari Tasyriq

Hari Tasyriq adalah hari setelah hari Idul Adha, dan para ulama telah berselisih pendapat apakah dia dua hari atau tiga hari. Sebab penamaan hari tasyriq, karena daging hewan kurban dibentangkan di bawah terik matahari, ada yang mengatakan hal ini disebabkan karena hewan kurban tidak disembelih kecuali setelah matahari terbit, yang lain mengatakan ini disebabkan karena shalat Idul Adha dilakukan di saat terbitnya matahari, dan ada yang mengatakan, at-Tasyriq adalah takbir yang dilakukan setiap selesai shalat. (Fathul Baari IV hal. 285)

Dari Abu Murrah, budak yang dimerdekakan Ummu Hani’, bahwasanya dia bersama ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma datang menemui ‘Amr bin al-‘Ash, lalu dia menghidangkan makanan untuk mereka berdua, seraya berkata, “Makanlah!” Dia menjawab, “Aku sedang puasa.” ‘Amr berkata, “Makanlah, sesungguhnya ini adalah hari yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berbuka dan melarang kami berpuasa.” Malik berkata, “Hari itu adalah hari Tasyriq.” [Shahih: Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2113), Sunan Abi Dawud (VII/63, no. 2401)]

Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhum, mereka berdua mengatakan, “Tidak diizinkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (di Mina saat ibadah haji).” [Shahih: Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 978), Shahiih al-Bukhari (Fathul Baari IV/242, no. 1997)]

c. Pertengahan kedua dari bulan Sya’ban bagi mereka yang tidak mempunyai kebiasaan berpuasa

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُوْمُوْا.

“Jika telah sampai pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” [Shahih: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1339), Sunan Abi Dawud (VI/460, no. 2320), Sunan at-Tirmidzi (II/121, no. 735), Sunan Ibni Majah (I/528, no. 1651) dengan lafazh yang mirip]

Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ.

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali jika orang itu tengah mengerjakan suatu puasa yang biasa dilakukan, maka hendaklah ia puasa pada hari itu.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/127, no. 1914), Shahiih Muslim (II/762, no. 1082), Sunan Abi Dawud (VI/459, no. 2318), Sunan at-Tirmidzi (II/97, no. 680), Sunan an-Nasa-i (IV/149), Sunan Ibni Majah (I/528, no. 1650)]

f. Puasa pada hari yang meragukan

Dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang meragukan berarti dia telah mendurhakai Abul Qasim (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Shahih: Irwaa-ul Ghaliil (no. 961), Sunan at-Tirmidzi (II/97, no. 681), Sunan Abu Dawud (VI/457, no. 2317), Sunan an-Nasa-i (IV/153), Sunan Ibni Majah (I/527, no. 1645)]

g. Puasa selamanya, walaupun dia berbuka pada hari-hari yang terlarang untuk berpuasa.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو! إِنَّكَ لَتَصُوْمُ الدَّهْرَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ, وَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمْتَ لَهُ الْعَيْنَ وَنَهَكْتَ, لاَ صَامَ مَنْ صَامَ اْلأَبَدَ.

“Wahai ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya engkau selalu berpuasa sepanjang hari (selamanya) dan bangun malam. Jika engkau terus melakukannya, maka engkau telah menjadikan matamu cekung serta menyiksa dirimu. Tidak ada puasa bagi orang yang puasa selamanya.” [Muttafaq ‘alaihi: Shahiih Muslim (II/815, no. 1159 (187)), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/224, no. 1979)]

Juga diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana cara engkau berpuasa?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah mendengar perkataan tersebut dan manakala ‘Umar melihat hal itu, ia berkata, “Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami. Kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan murka Rasul-Nya.” Dia terus mengulang perkataan itu sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti marah, kemudian ia bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan orang yang berpuasa selamanya?” Beliau bersabda:

لاَ صَامَ وَلاَ أَفْطَرَ.

“Dia tidak berpuasa dan tidak berbuka.” [Shahih: Shahiih Sunan Abi Dawud, no. 2119, Shahiih Muslim (II/818, no. 1162), Sunan Abu Dawud (VII/75, no. 2408), Sunan an-Nasa-i (IV/207)] {Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap} (http://almanhaj.or.id/content/1626/slash/0/puasa-sunnah/)

h. Saat haid dan nifas

Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21) [http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/larangan-bagi-wanita-haid.html]

Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah bersabda kepada para wanita yang mempertanyakan tentang maksud kurangnya agama mereka:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا

“Bukankah wanita itu bila haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” Para wanita menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Maka itulah dari kekurangan agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 304) [http://aljaami.wordpress.com/2011/11/13/wanita-haid-dan-nifas-dilarang-berpuasa/]

3. Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah.

Dalil dari hal ini adalah hadits ‘Aisyah yang telah kami sebutkan.

Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata,

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Puasa sunnah boleh dibatalkan dengan makan di siang hari karena ia hanya puasa sunnah saja. Jadi puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut (Syarh Muslim, 8/35).

4. Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah jika suaminya bersamanya, kecuali dengan seizin suaminya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.”  (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026) Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab: Puasa sunnah si istri dengan izin suaminya.

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” (Syarh Muslim, 7/115)

Lalu bagaimana jika suami tidak di tempat seperti ketika suami bersafar?

Jawabannya, boleh ketika itu si istri berpuasa karena sebab pelarangan tadi tidak ada.

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.” (Syarh Muslim, 7/115) [http://rumaysho.com/puasa/ketentuan-penting-dalam-puasa-sunnah-1003]

 

Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai hukum-hukum seputar puasa sunnah yang mencakup permasalahan seputar niat, puasa hari Juma, Sabtu, dan hari-hari terlarang lainnya, serta permasalahan lainnya. Segala kebenaran datangnya dari Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan segala kekurangan datangnya dari setan dan saya sendiri. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya pagi penyusun dan siapa saja yang membahasnya. Semoga usaha yang sedikit ini dapat menjadi pemberat amal kebaikan kami di akhirat kelak. Semoga Sholawat dan Salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, para sahabatnya, keluarganya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga akhir kiamat.

 

Abu Muhammad

Bantul, 12 Syawwal 1435 H / 8 Agustus 2014

 

Download dalam bentuk pdf artikel: HUKUM-HUKUM SEPUTAR PUASA SUNNAH (1 s.d. 4 lengkap)

Leave a comment