Gallery

Sekali Lagi, Inikah Ancaman Mengerikan Bagi Orang Yang Meninggalkan Sholat? (2)

Artikel sebelumnya di: Sekali Lagi, Inikah Ancaman Mengerikan Bagi Orang Yang Meninggalkan Sholat?

sofyanruray.info

Apakah orang yang meninggalkan shalat dibunuh?

Mengenai hukum bunuh bagi orang yang meninggalkan shalat karena malas, ada tiga pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama adalah bahwa dia harus dibunuh karena dia telah murtad, keluar dari Islam. Ini adalah pendapat semua ulama yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia!” (HR. Al-Bukhari no. 2794, 6411)

Pendapat kedua adalah yang menyatakan dia harus dibunuh, akan tetapi bukan karena dia kafir, tapi sebagai hukum had sebagaimana yang terjadi pada pezina yang telah menikah, dia dibunuh dengan dirajam. Ini adalah pendapat semua ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, kecuali Abu Hanifah.

Pendapat yang ketiga adalah pendapat Abu Hanifah, dimana beliau menyatakan bahwa pelakunya cukup dikurung sampai dia mau kembali shalat dan dia tidak dibunuh.

Wallahu a’lam

Jika cenderung kepada pendapat pertama, perlu dicatat bahwa yang melaksanakan hukum bunuh di sini adalah pemerintah atau yang mewakilinya, sebagaimana merekalah yang berhak menegakkan hukum-hukum had lainnya seperti rajam dan potong tangan bagi pencuri.

Kapan seseorang dihukumi meninggalkan shalat

Dalam masalah ini, secara umum ada dua pendapat besar di kalangan para ulama yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena malas:

Pendapat pertama: Ibnu Hazm menyebutkan dalam Al-Muhalla (1/242), “Terdapat riwayat dari Umar, Muadz, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan dari para sahabat yang lain, bahwa seorang yang sengaja meninggalkan shalat fardhu sekali saja hingga keluar waktunya telah kafir dan murtad.” Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.

Pendapat kedua: Bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikafirkan kecuali meninggalkannya secara total, atau bersikukuh untuk meninggalkan walaupun setelah diancam untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dimana beliau menyatakan mengenai hadits Jabir di atas bahwa yang dimaksudkan dengan meninggalkan shalat di situ adalah meninggalkan shalat selamanya.

Yang lebih tepat insya Allah pendapat yang paling terakhir. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam Majmu` Al-Fatawa (7/219), Ibnul Qayyim dalam Ash-Shalah hal. 60, 82, Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf (1/378), dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti` (2/26). Jadi jika ada seseorang yang asalnya dia shalat hanya saja terkadang dia meninggalkannya karena malas, maka dia tetap dihukumi seorang muslim dan tidak dihukumi kafir, kecuali jika dia telah meninggalkan shalat secara menyeluruh, wallahu a’lam. [http://al-atsariyyah.com/meninggalkan-shalat-karena-malas-kafir-akbar-atau-asghar.html]

Tambahan Faidah:

Saya (Abu Muhammad) pernah mendengar di Rodja TV, Ustadz Zainal Abidin Syamsudin mengatakan bahwa merupakan tanda seseorang itu mengingkari kewajiban shalat adalah meninggalkannya secara terus-menerus.

Catatan:

1. Masalah hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau menvonisnya dengan Khariji (pengikut pemahaman Khawarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat). Hukum asal dalam hal khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/ dilapangkan untuk berijtihad. Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa permasalahan meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat besar yang pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari kalangan umat ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat tentang hukumnya. (Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3) [http://salafy.or.id/blog/2007/10/02/hukum-meninggalkan-shalat/]

2. “Melalaikan shalat” itu tidaklah sama dengan “meninggalkan shalat”

Ketahuilah wahai saudaraku, orang yang melalaikan/menyia-nyiakan  shalat, BUKANLAH orang yang meninggalkan shalat.

Allåh subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ . الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maa’uun: 4-5)

Sa’id ibn Abi Waqqash ketika ditanya tentang makna ayat diatas, beliau berkata:

Sesungguhnya maksud ayatnya tidak seperti yang engkau kira (yaitu meninggalkan shalat), akan tetapi maksudnya adalah MELALAIKAN SHALAT DARI WAKTU-NYA (yaitu seorang yang lalai dari shalat, kemudian shalat diluar waktunya) [Lihat ta’zhim qadrish shalaat]

Al-Haafizh Ibnu Katsiir rahimahullahu ta’ala dalam tafsirnya berkata, yang dimaksud orang-orang yang lalai dari shalatnya adalah:

  • Orang tersebut menunda shalat dari awal waktunya,sehingga ia selalu mengakhirkan sampai habis waktunya, kemudian ia baru MENGERJAKANNYA diluar waktunya.
  • Orang tersebut tidak melaksanakan rukun dan syarat shalatsebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Atau TIDAK MENYEMPURNAKANNYA; seperti shalat dengan tidak sempurna wudhu’nya, tidak thuma’ninah, dan lain-lain.

  • Orang tersebut tidak khusyu’ dalam shalat dan tidak merenungi makna bacaan shalat.

Allåh Ta’ala berfirman:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat”

Berkata al-auza’i råhimahullåh:

“Sesungguhnya mereka (yang) menyia-nyiakan (shalat) (dalam ayat tersebut, adalah menyia-nyiakan) WAKTU PELAKSANAAN SHALATJika penyia-nyiaan itu merupakan peninggalan, niscaya itu merupakan kekafiran

Berkata ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziiz:

Bukanlah maksud “menyia-nyiakan (shalat)” adalah meninggalkannya. Akan tetapi maksudnya adalah “menyia-nyiakan waktunya” (yaitu shalat di luar waktunya)

Ketahuilah, orang yang melalaikan shalat, sampai habis waktunya, kemudian ia tidak mengerjakannya (walaupun mengerjakan-edit bukan di waktunya) maka inilah yang dikatakan ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT[http://abuzuhriy.com/melalaikan-shalat-tidaklah-sama-dengan-meninggalkan-shalat/]

3. Terdapat sejumlah orang yang mempublikasikan di internet (facebook) seputar balasan bagi setiap shalat. Mereka menyatakannya demikian; siapa yang tidak shalat Fajar, maka hilanglah cahaya di wajahnya; siapa yang tidak shalat Zuhur, maka hilanglah barakah rizkinya; siapa yang tidak shalat Ashar, maka hilanglah kekuatan fisiknya; siapa yang tidak shalat Maghrib, maka dia tidak dapat mengambil manfaat dari anak-anaknya, siapa yang tidak shalat Isya, maka hilanglah keselamatan tidurnya. Apakah ungkapan ini benar, ataukah ini hanya karangan orang-orang saja? Hadits tidak ada sedikitpun dalam kitab-kitab hadits, apakah dalam hadits shahih ataupun hadits dha’if. Menunjukkan bahwa ungkapan itu tidak ada asalnya dan sanadnya. Akan tetapi sebagian orang mengarangnya dan menyebarkannya di sebagian milist dan situs internet. Mereka mengira bahwa dengan hal itu dapat memperingatkan manusia agar tidak meninggalkan shalat. Mereka tidak sadar, bahwa dengan itu, mereka telah melakukan dosa yang besar. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang berdusta terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan sengaja adalah kafir.

Al-Amir Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah dosa besar. Hal itu diketahui dengan adanya ancaman siksaan.”

Al-Juwaini berkata, dosa besar itu adalah kufur. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

 فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْمُجْرِمُونَ (سورة يونس: 17)

” Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya, tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa.” (QS. Yunus: 17)

Dalam ayat ini disamakan antara orang yang berdusta atas Allah dengan mendustakannya, tidak diragukan lagi bahwa mendustakannya adalah kekufuran. Sedangkan orang yang berdusta terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah bagaikan orang yang berdusta terhadap Allah Ta’ala. Allah mengingkari, dengan ungkapan pertanyaan pengingkaran, bahwa ada dosa dan kezaliman yang lebih besar dari itu.

Karena orang yang berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya dapat menghapus sebuah kewajiban, dan menghapus sebuah kewajiban adalah kekufuran dan mendustakan syariat, dan ini adalah kufur. Karena berdusta dalam syariat menunjukkan pelecehan terhadapnya secara otomatis. Wallahua’lam.” (Taudhihul Afkar, 2/88)

Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hadits ini dan hadits yang lain. Mereka menjawab,

“Hadits ini tidak didapatkan dalam kitab-kitab hadits, dan setelah kami teliti, tidak kami temukan asalnya. Maka wajib dicegah penyebar-luasannya dan pencetakannya.” (Fatawa Lajnah Daimah, 3/259)

Syaikh Shaleh Al-Fauzan juga pernah ditanya tentang hadits ini, maka dia berkata,

“Sebagaimana saya ketahui, perkara ini tidak ada dasarnya. Ancaman terhadap orang yang meninggalkan shalat sudah terdapat dalam Al-Quran dan hadits yang shahih, hendaknya mencukupkan diri dengan semua itu. Di antaranya adalah hadits Rasulullah shallallah alaihi wasallam,

بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

“Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan meninggalkan shalat.”  (HR. Muslim)

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها ـ أي الصلاة ـ فقد كفر

“Janji antara kita dengan mereka adalah ‘Ash-Shalah’, siapa yang meninggalkannya, sungguh dia telah kafir.” (HR. Ahlussunan, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam shahih Targhib wa Tarhib, 564)

Sedangkan Allah Ta’ala berfirman terkait dengan orang-orang durhaka.

مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ ، قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ المُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” SQ. Al-Mudatsir: 42-43.

Sebab pertama yang menyebabkan mereka masuk ke neraka saqor adalah karena mereka meninggalkan shalat. Meninggalkan shalat merupakan kekufuran dan keluar dari agama. Baik meninggalkannya karena menentang kewajibannya atau meninggalkannya dalam keadaan mengakui kewajibannya. Kecuali orang yang meninggalkannya karena lupa dan tertidur.

Adapun apa yang ditanyakan penanya, saya tidak mengetahui asalnya, begitu pula terkait dengan selebaran yang dibagi-bagikan, di dalam terdapat ungkapan, “Siapa meninggalkan shalat, maka dia dihukum dengan lima belas hukuman.” Itu tidak ada asalnya. (Nurun Aladdarb, 20 Muharam 1427)

Maka tidak boleh menyebarluarkan hadits semacam ini dan menisbatkannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Justru yang wajib adalah memperingatkan pelakunya dan menjelaskan bahwa hal ini tidak ada asalnya dari kitab-kitab hadits.

Siapa yang ingin mengetahui hadits-hadits shahih dalam bab ancaman, hendaknya dia merujuk kitab Shahih Targhib wa Tarhib, Syaikh Al-Albany, 1/136-140). [http://islamqa.info/id/172024]

 

Intisari

Agar lebih mudah dipahami, berikut ini adalah berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat secara ringkas:

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa,7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

 

Penutup

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholahhal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan). [http://buletin.muslim.or.id/fiqih/hukum-meninggalkan-shalat]

Semestinya juga sebagai seorang laki-laki kita menjalankan sholat 5 waktu secara berjamaah di masjid karena hal tersebut merupakan kewajiban. Bacalah artikel inspiratif ini agar semakin menggugah kesadaran kita untuk sholat berjama’ah di masjid.

Semoga tulisan yang ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara, dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu.

 

Abu Muhammad

Disusun ulang sewaktu di Bantul, 27 Rajab 1436 H / 16 Mei 2015

 

Download dalam bentuk pdf artikel: INIKAH ANCAMAN MENGERIKAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT (1 dan 2 lengkap)

Leave a comment