Gallery

Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (11) [Keindahan Islam dan Hukum Istihza’]

Artikel sebelumnya: Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (10) [Cadar Wajib atau Sunnah?-3]

 

D. Syariat Islam merupakan rahmat, kemashlahatan, dan indah. Islam juga mengharamkan perbuatan dzolim

salafiyunpad.wordpress.com

salafiyunpad.wordpress.com

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Secara bahasa, rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur)  [http://muslim.or.id/al-quran/islam-rahmatan-lil-alamin.html]

Ibnu Abbas radliyallahu `anhu berkata tentang ayat ini: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka Allah tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun mendapat rahmat dengan datangnya Rasul yaitu keselamatan dari adzab di dunia, seperti ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/222) [http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/10/31/islam-sebagai-rahmat-untuk-seluruh-alam/]

Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir berkata:

“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”

Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir berkata:

Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air” (http://muslim.or.id/al-quran/islam-rahmatan-lil-alamin.html)

Dalil-dalil lainnya dari Al-Qur’an, antara lain: (QS. Al-Isrô` : 82) dan (QS. An-Nahl : 89), baca juga kemudahan dan kemurahan islam di http://jihadbukankenistaan.com/jalan-petunjuk/rahmat-dan-kemurahan-islam.html

Selanjutnya, berikut ini satu saja (padahal banyak), hadits Nabi yang menunjukkan Islam adalah agama rahmat dan kasih sayang:

Diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa dia berkata: Pernah dikatakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab:

Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Hanya saja aku diutus sebagai rahmat yang diberikan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3 / 222). [http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/10/31/islam-sebagai-rahmat-untuk-seluruh-alam/]

Syariat hukum Islam juga dibangun di atas tujuan yang mulia yaitu untuk merealisasikan kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat (Al-Khalifi, Riyadh Manshur. 2004. Al-Maqashid as-Syar’iyyah wa Atsaruha fi Fiqhi al-Muamalat al-Maliyyah. Jeddah: Majallah Jami’ah al-Malik Abdul Aziz Al-Iqtishad al-Islamy)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa basis syariah adalah hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.  Kemaslahatan ini terletak pada keadilan sempurna, rahmat, kesejahteraan, dan hikmah. Apa saja yang membuat keadilan menjadi aniaya, rahmat menjadi kekerasan, kemaslahatan menjadi rusakan, dan hikmah menjadi kesia-siaan, maka hal itu tidak ada kaitannya dengan syariah (Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim. 1973. I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil Alamin. Tahqiq: Thaha Abdur Rauf Sa’d. Beirut: Darul Jail).

Abu Zahrah  melanjutkan jika disebut istilah maslahah maka yang dimaksud adalah maslahah yang hakiki yang kembali pada lima hal yang pokok yaitu penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. (Abu Zahrah, Muhammad. 1958. Ushulul Fiqh. Darul Fikri al-Araby)

Asy-Syathibi menjelaskan lima yang pokok (dharuriyyat) ini harus ada demi tegaknya kemaslahatan agama dan dunia, di mana apabila ia tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan stabil bahkan akan berjalan di atas kerusakan, kekacauan, dan hilangnya kehidupan, sedang di akhirat akan kehilangan keselamatan, kenikmatan, serta kembali dengan membawa kerugian yang nyata. (Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa. 1997. Al-Muwafaqat (Cet.1). Tahqiq: Masyhur Hasan Salman. Daru Ibni Affan)

Maslahah yang dharuriyyat (pokok) inilah yang disinyalir oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab ­­al-Mustashfa. Beliau berkata:

لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة

“Akan tetapi yang kami maksud dengan maslahah adalah penjagaan terhadap tujuan dari syariah dan tujuan dari syariah terdiri dari lima hal yaitu penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka apa saja yang menjamin terjaganya kelima pokok ini disebut dengan maslahah dan setiap perkara yang luput darinya disebut mafsadah (kerusakan).” (Al-Ghazali, Abu Hamid. 1413 H/1991 M. Al-Mushtasyfa Min Ilmil Ushul (Cet.1)Tahqiq: Muhammad Abdus Salam. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah.) [http://abuutsmanmuhammad.wordpress.com/2012/01/23/konsep-maqashid-syariah/]

Selain membawa mashlahah hakiki, syariat islam juga indah karena diwahyukan dari Zat yang Maha Indah. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”. (HSR Muslim (no. 91)

Nama Allah Ta’ala yang agung ini menunjukkan sempurnanya keindahan Allah Ta’ala pada semua nama, sifat, zat dan perbuatan-Nya (Lihat “Fiqhul asmaail husna” (hal. 291)).

Imam an-Nawawi menjelaskan makna hadits di atas: bahwa semua urusan Allah Ta’ala (maha) indah dan baik, dan Dia memiliki nama-nama yang Maha Indah serta sifat-sifat yang maha bagus dan sempurna (Syarh shahih Muslim (2/90))

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan terperinci dalam ucapan beliau: “Keindahan Allah Ta’ala ada empat tingkatan: keindahan zat, keindahan sifat, keindahan perbuatan dan keindahan nama. Maka nama-nama Allah semuanya maha indah, sifat-sifat-Nya semuanya maha sempurna, dan perbuatan-perbuatan-Nya semuanya (mengandung) hikmah, kemaslahatan (kebaikan), keadilan dan rahmat (kasih sayang). Adapun keindahan zat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain-Nya. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia memperkenalkan dirinya kepada hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah (hadits qudsi), “Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-Ku…” (HR Abu Dawud (no. 4090) dan Ibnu Majah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.) [http://muslim.or.id/aqidah/al-jamil-yang-maha-indah.html]

Selanjutnya, karena agama islam ini merupakan agama yang murni mashlahah, maka Islam mengharamkan perbuatan dzolim, berikut ini saya cantumkan satu saja dalilnya:

Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Yang menciptakan seluruh makhluk, telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Nya. Sebagaimana diterangkan dalam haditsQudsi, Allah berfirman,

يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظَّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوْا

“Wahai segenap hambaku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Ku dan Aku telah menjadikan hal tersebut sebagai perkara yang haram antara sesama kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi.” (HR. Muslim no. 2577) [http://jihadbukankenistaan.com/jalan-petunjuk/haramnya-perbuatan-zholim-khianat-dan-melanggar-janji.html] Selengkapnya tentang pengharaman Islam terhadap perbuatan dzolim bisa dibaca di situs tersebut.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa syariat tentang memelihara jenggot, tidak memanjangkan celana di atas mata kaki dan masalah cadar (sebagaimana dijelaskan di muka beserta dalil-dalilnya) merupakan rahmat, murni mashlahat, dan indah, bagian dari kesempurnaan syariat islam (tidak dapat dipisahkan), dan tidak ada cecat di dalamnya, karena diturunkan oleh penguasa alam semesta, zat yang Maha Sempurna dan Maha Indah, Alloh Jalla wa A’la.

Segala puji bagi Alloh atas segala karunia dan rahmatnya

Hendaklah orang yang masih mencela jenggot, celana di atas mata kaki, dan cadar menyadari bahwa dia sedang mencela syariat yang suci. Maha Suci Alloh dari segala celaan dalam syariatnya.

 

E. Mereka Mengolok-olok Perkara yang Merupakan Bagian dari Islam

Dengan penjelasan di awal, maka jelaslah bahwa, menghina jenggot, celana di atas mata kaki, atau pun cadar tersebut termasuk menghina syariat islam. Bagaimanakah hukum islam mengenai orang yang mengaku islam namun mengolok-ngolok salah satu ajaran Islam?? Semisal perkataan seseorang kepada saudaranya yang memelihara jenggot dengan sebutan si kambing, mengejek saudarinya yang menggunakan cadar dengan sebutan ninja, atau mengejek seorang muslimah yang memakai jilbab yang benar dengan mengatakan “Kemana-mana kok pakai baju sholat/mukenah” dan lain sebagainya. (http://muslim.or.id/aqidah/bahaya-mengejek-ajaran-nabi-shallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam.html)

 

Makna Istihza’

Dalam istilah syar’i, mengolok-olok disebut sebagai istihza’

Istihza’, secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan [Lisanul Arab (I/183) dan Al Mishbaahul Munir, hlm. 787].

Ar Raghib Al Ashfahani berkata,”Al huzu’, adalah senda-gurau tersembunyi. Kadang-kala disebut juga senda-gurau atau kelakar.” [Al Mufradaat, hlm. 790]

Al Baidhawi berkata,”Al Istihza’, artinya adalah pelecehan dan penghinaan. Dapat dikatakan haza’tu atau istahza’tu. Kedua kata itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.” [Tafsir Al Baidhaawi (I/26)]

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna istihzaa’. Yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar. (http://almanhaj.or.id/content/3015/slash/0/hukum-istihza-bid-din-memperolok-agama/)

 

Hukum Istihza’

Orang-orang yang mengolok-olok syiar islam seperti jenggot, celana di atas mata kaki, cadar, dan yang lainnya, membahayakan dirinya sendiri karena terjatuh ke dalam bahaya:

Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.’.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba’in ke-38).

Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima:

“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9) [http://www.salafy.or.id/peringatan/]

Beliau juga berkata tentang pembatal keislaman yang keenam:

“Barangsiapa memperolok-olok (mengejek) sesuatu dari agama Rasul shallallahu alaihi wasallam (Islam) atau mengejek pahala Allah atau siksa-Nya, maka dia telah kafir”

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan:

Yang keenam dari jenis-jenis kemurtadan adalah memperolok-olok terhadap yang telah Allah turunkan atau menghina sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meskipun hal itu termasuk perkara-perkara yang disunnahkan dan dianjurkan seperti bersiwak, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku, Apabila seseorang memperolok-oloknya, maka dia menjadi kafir. (http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-manhaj/pembatal-keislaman-6-mengolok-olok-perkara-agama/)

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”

(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”

Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah):

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9 : 65-66).

Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dinukil dari Imam Syafi’iy bahwa beliau ditanyakan mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah ta’ala. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)” -Demikianlah dinukil dari Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul– (http://muslim.or.id/manhaj/mengikuti-ajaran-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-bukanlah-teroris-4.html)

Ibnul Jauzi berkata: “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.” [Zaadul Masiir (III/465)]

Al Alusi menambahkan perkataan Ibnul Jauzi di atas sebagai berikut: “Tidak ada perselisihan diantara para ulama dalam masalah ini.” [Ruuhul Ma’aani (X/131)] {http://almanhaj.or.id/content/3015/slash/0/hukum-istihza-bid-din-memperolok-agama/}

Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah pun mengatakan,

“Para ulama kaum muslimin ijma’/sepakat menetapkan kafirnya orang yang mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah Subahanahu wa Ta’ala (sedangkan ia tahu bahwa hal itu merupakan bagian dari agama Allah) sama saja apakah hal tersebut dalam bentuk merendahkan ,hanya sekedar main-main/gurauan, basa-basi dengan orang kafir atau selain mereka, ketika bertengkar dengan seseorang, ketika marah, atau selain hal tersebut” [Lihat Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah oleh Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah, hal. 96-97, terbitan Makatabah Mulk Fahd Al Wathoniyah]. (http://muslim.or.id/aqidah/bahaya-mengejek-ajaran-nabi-shallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam.html)

Sikap memperolok-olok syi’ar agama bertentangan dengan keimanan. Dua sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaqwaan hati. Allah berfirman.

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32].

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya: “Sesungguhnya, memperolok-olok Allah dan RasulNya hukumnya kafir, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Karena dasar agama ini dibangun di atas sikap ta’zhim (pengagungan) terhadap Allah dan pengagungan terhadap agama dan rasul-rasulNya. Dan memperolok-olok sesuatu daripadanya, (berarti) menafikan dasar tersebut dan sangat bertentangan dengannya.” [Tafsir As Sa’di (III/259)] {http://almanhaj.or.id/content/3015/slash/0/hukum-istihza-bid-din-memperolok-agama/}

 

Jenis-jenis Istihza’

Sebagian ulama membagi masalah mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah dengan 2 jenis:

[1]. Pengolok-olokan terang-terangan, sebagaimana sababun nuzul surat At Taubah 65-66 di atas, semisal dengan itu orang yang mengejek tindakan orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, orang yang mengerjakan sholat karena mereka mengerjakan sholat, orang yang memelihara jenggotnya dan seterusnya.

[2]. Pengolok-olokan yang tidak terang-terangan, seperti menjulurkan lidah, atau bibir, dengan isyarat tangan ketika disampaikan/dibacakan Al Qur’an dan Hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam, ketika amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan, maka hal ini pun termasuk kekufuran. [Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 74]. (http://muslim.or.id/aqidah/bahaya-mengejek-ajaran-nabi-shallallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam.html)

 

Bersambung ke: Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (12) [Hukum Istihza’-2]

3 comments on “Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (11) [Keindahan Islam dan Hukum Istihza’]

  1. Alhamdulillah wasyukrillah, terima kasih banyak artikel ini banyak manfaatnya dalam melaksanakan syariat islam berdasarkan sunnah RasulNYA, SYukron Katsir

Leave a comment