Gallery

Menjawab Kerancuan Seputar Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Zaman Utsman bin Affan Rodhiyallohu ‘anhu (1)

 

fadhlihsan.blogspot.com

fadhlihsan.blogspot.com

Musuh-musuh islam senantiasa ingin meruntuhkan islam dengan segenap cara. Keimanan terhadap Al Qur’an yang memiliki posisi sedemikian strategis tak luput dari incaran mereka. Salah satu usaha yang mereka lakukan untuk menebar keraguan terhadap Al Qur’an adalah memberikan persepsi yang lemah dan kabur mengenai sejarah pembukuan Al Qur’an. Mereka ingin menunjukkan sebuah fakta palsu bahwa Al Qur’an -dalam sejarahnya- memiliki banyak versi yang membingungkan, dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa mush-haf yang ada di tangan kita saat ini adalah benar-benar Al Qur’an, kalamullahAllahummanshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin! (http://forum.muslim-menjawab.com/2012/01/27/menjawab-gugatan-tentang-pembukuan-al-quran/)

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar penulisan mushaf (khususnya di zaman Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu), yaitu:

1. Apakah pada zaman Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dilakukan penulisan ulang, menyelisihi penulisan di zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu?

2. Apakah para sahabat sepakat akan penyatuan mushaf dan pembakaran mushaf dengan 6 qiro’ah yang lainnya?

3. Al Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf” tersebut tidak mencakup secara keseluruhan, berarti Mushhaf ini telah menghilangkan banyak bagian dari Al Qur’an!?

4. Dengan tujuh bacaan yang berbeda (yang bisa menyebabkan perbedaan makna) bisa sangat mungkin syariat diselewengkan dari tahun ke tahun!?

 

Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Asy-Syinqithi rohimahulloh (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan.

Al-Qurthubi rohimahulloh (10/5) mengatakan, Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan. Lalu beliau menyebutkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara.”

Al-Imam Al-Baidhawi rohimahulloh (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”

Kata asy-Syaikh as-Sa’di rohimahulloh, “Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah subhanahu wa ta’ala menyimpannya di hati Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian di hati umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. ……”

Ath-Thabari rohimahulloh (14/8) berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.” (http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html)

Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus yakin bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kaum muslimin saat ini, itulah yang diwahyukan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, baik huruf, lafadz, maupun maknanya SAMA, tidak ada penambahan maupun pengurangan. Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shoolihaat.

 

Tahap-Tahap Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an 

Sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama. Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya.Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an antara lain: Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. Baca juga: http://www.alsofwa.com/14950/178-quran-pengumpulan-al-quran-dalam-artian-penulisannya-pada-zaman-nabi.html

Tahap Kedua. Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun 12 Hijriyah.

Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari [Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.  (http://almanhaj.or.id/content/2198/slash/0/penulisan-al-quran-dan-pengumpulannya/). Baca juga http://www.alsofwa.com/14952/180-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-abu-bakar-radhiyallahu-anhu.html

Tahap Ketiga. Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun 20 Hijriyah.

Pembahasan inilah yang akan sedikit dipanjangkan.

Di antara jasa beliau yang besar dan kebaikan beliau yang agung, bahwa beliau telah menyatukan kaum muslimin pada satu qira’ah dan dituliskannya bacaan al-Qur’an terakhir yang diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam, yakni ketika Jibril mendiktekan al-Qur’an kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam pada tahun terakhir masa hidup beliau.

Latar belakang penyatuan mushaf ini adalah Hudzaifah bin al-Yaman ikut serta dalam beberapa peperangan. Pada pasukan tersebut berkumpul orang-orang dari Syam yang mengambil bacaan dari Qira’ah al-Miqdad bin al-Aswad dan Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhum dan sekelompok penduduk Iraq yang mengambil bacaan dari Qira’ah Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa rodhiyallohu ‘anhum. Bagi yang tidak mengetahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh bacaan, mengutamakan bacaannya dari pada bacaan yang lain bahkan terkadang menyalahkan bacaan yang lain atau sampai pada pengkafiran.

Hal itu membuka jurang perselisihan sehingga tersebarlah ucapan-ucapan jelek di kalangan masyarakat. Maka berangkatlah Hudzaifah bin al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu menghadap Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu dan berkata, “Ya Amirul Mukminin! Benahi umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitab mereka sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengenai kitab mereka.” Kemudian Hudzaifah rodhiyallohu ‘anhu menceritakan apa yang ia saksikan mengenai perselisihan yang terjadi di tengah kaum muslimin. Pada saat itu Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka untuk memusyawarahkan perkara tersebut. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dalam satu Qira’ah (bacaan) dan menyatukan seluruh daerah pada satu bacaan saja untuk menghentikan perselisihan dan menghindari perpecahan.

Beliau meminta lembaran-lembaran al-Qur’an yang dulu dipakai Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu dan memerintahkan Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu untuk mengumpulkannya. Lembaran ini dipakai Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ketika masih hidup kemudian dipakai oleh Umar bin Khaththab rodhiyallohu ‘anhu. Setelah Umar rodhiyallohu ‘anhu wafat lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut berada di tangan Hafshah Ummul Mukminin rodhiyallohu ‘anha. Lantas Utsman memintanya dan memerintahkan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu untuk menuliskannya dengan didiktekan oleh Sa’id bin ‘Ash al-Umawy dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair al-Asady, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumy rodhiyallohu ‘anhum. Beliau memerintahkan juga jika mereka berselisih pendapat maka tulislah yang sesuai dengan bahasa Arab Quraisy. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)

Maka ditulislah satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk Syam, satu mushaf al-Qur’an untuk penduduk mesir, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Bashrah, satu mushaf al-Qur’an dikirim ke Kufah, begitu juga ke Makkah dan Yaman dan satu mushaf al-Qur’an untuk Madinah. Mushaf-mushaf ini disebut dengan Mushaf al-Aimmah atau al-Utsmaniyah. Mushaf tersebut bukan hasil tulisan Utsman rodhiyallohu ‘anhu tetapi tulisan Zaid bin Tsabit al-Anshary rodhiyallohu ‘anhu. Dikatakan mushaf al-Utsmaniyah karena ditulis berdasarkan perintah beliau, pada zaman pemerintahan beliau, sebagaimana penamaan Dinar Hiraklius, karena dibuat pada masa pemerintahannya.

Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengumpulkan semua mushaf yang beredar di kalangan masyarakat yang berbeda dengan mushaf tersebut lalu membakarnya agar tidak lagi timbul perselisihan. (Lihat Shahih Bukhari dalam Kitab Fadhilah-Fadhilah al-Qur’an pada Bab pengumpulan al-Qur’an, 9/11-Fathul Bari)

Abu Bakar bin Dawud berkata tentang penulisan mushaf tersebut, “Muhammad bin Basyar telah mengatakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far dan Abdur Rahman telah mengatakan kepada kami, Syu’bah bin Alqamah bin Martsad telah mengatakan kepada kami dari seseorang dari Suwaid bin Ghaflah ia berkata, ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu berkata kepadaku ketika Utsman rodhiyallohu ‘anhu membakar mushaf-mushaf tersebut, ‘Jika Utsman tidak melakukannya niscaya aku yang akan melakukannya (yaitu penulisan mushaf).’ Begitu juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thiyalisi dan Amr bin Marzuq dari Syu’bah dengan matan yang sama’.

Al-Baihaqi dan lainnya meriwayatkannya dari hadits Muhammad bin Aban -suami saudara perempuan Husain- dari ‘Alqamah bin martsad berkata, “Aku mendengar al-‘Aizar bin Huraits berkata, ‘Aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata, ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata, ‘Wahai hadirin sekalian! Janganlah kalian berlebihan dalam mensikapi Utsman, kalian katakan ia telah membakar mushaf-mushaf. Demi Allah dia tidak membakarnya melainkan di hadapan sekumpulan sahabat Muhammad. Jikalau aku yang ditugaskan, tentunya akan aku lakukan sebagaimana yang telah dia lakukan‘.”(al-Hafizh Ibnu Hajar telah menshahihkan sanadnya di dalam Fathul Bari, 9/18. Menurut saya (Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami), orang yang disebut sebagai “orang yang tak dikenal” dalam riwayat Abu Dawud adalah al-Aizar bin Nuraits)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu bahwa ia mencela ketika mushaf yang di tangannya diambil dan dibakar, dan mengatakan bahwa ia lebih dahulu masuk Islam dari pada Zaid bin Tsabit penulis mushaf tersebut dan menyuruh murid-muridnya untuk menyembunyikan mushaf-mushaf mereka dengan membacakan Firman Allah,

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, makapada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”(Al. Imran: 161).

Kemudian Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yangisinya mengajak Ibnu Mas’ud untuk mengikuti para sahabat yang telah sepakat atas  suatu kemaslahatan serta mengajaknya agar bersatu dan jangan berselisih. Maka Ibnu Mas’ud rujuk dan menyambut ajakan tersebut serta meninggalkan perselisihan (Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/19 berkata, “Udzur bagi Utsman rodhiyallohu ‘anhu  bahwa ia melakukannya (penulisan mushaf) di ‘madinah sementara Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Utsman rodhiyallohu ‘anhu  tidak menunda tekad tersebut hingga ia mengirim surat kepada Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya untuk hadir. Dan Utsman rodhiyallohu ‘anhu menginginkan agar mushaf yang dikumpulkan pada zaman pemerintahan Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu menjadi satu mushaf saja. Dan yang menulis mushaf pada masa Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu ialah Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu)

Abu Ishaq meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Yazid, ia berkata, bahwasanya Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu masuk ke masjid Mina seraya berkata, “Berapa raka’at amirul mukminin mengerjakan shalat Zhuhur?” Mereka menjawab, Empat rakaat.” Kemudian ia mengerjakan shalat empat rakaat. Mereka berkata, “Bukankah engkau telah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan Umar mengerjakannya dua rakaat ?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Benar dan sekarang akan aku ceritakan hal itu kepada kalian, tetapi aku benci dengan perselisihan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Perselisihan itu jelek.” Dan berkata, “Bagianku dari yang empat rakaat ini adalah dua rakaat yang maqbul.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab Mengqashar shalat pada Bab Shalat di Mina dengan jaian yang sama, 2/563-Fathul Bari. Demikian juga Abu Dawud dalam Sunannya dalam Kitab Manasik Haji pada Bab Shalat : 2/491.)

Jika Ibnu Mas’ud mengikuti Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang permasalahan furu’ (cabang) tentunya ia juga akan mengikuti Utsman rodhiyallohu ‘anhu pada asal al-Quran dan mencontohnya pada bacaan yang manusia diperintahkan untuk membacanya dengan bacaan tersebut.

[Disalin dari buku Al-Bidayah wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, cetakan I, Darul Haq, hal 349-352 (judul asli: Tartib wa Tahdzib Al-Kitab Bidayah wan Nihayah, Penulis: Ibnu Katsir, Penyusun: Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami, Penerbit: Dar al-Wathan, Cet. I]

Baca juga: http://www.alsofwa.com/14954/182-quran-pengumpulan-al-quran-pada-masa-utsman-radhiyallahu-anhu.html

 

Bersambung ke: Menjawab Kerancuan Seputar Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Zaman Utsman bin Affan Rodhiyallohu ‘anhu (2)

Leave a comment