Gallery

Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? (5) [Akibat Tidak Mau Membagi Tauhid Menjadi 3, Lanjutan]

Artikel sebelumnya di: Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? (4) [Akibat Tidak Mau Membagi Tauhid Menjadi 3]

 

flexmedia.co.id

flexmedia.co.id

 

2. Menyimpang (Ilhad) dalam Pemahaman dan Pengamalan atas Nama dan Shifat Alloh ‘Azza wa Jalla

Ketidakpedulian terhadap tauhid Asma wa Shifat dan hanya meyakini pengertian tauhid sebagai tauhid rububiyah semata (hanya meyakini bahwa Alloh adalah pencipta, penguasa, dan pengatur) akan menjerumuskan seseorang ke dalam berbagai bentuk penyimpangan (ilhad) dalam memahami nama-nama dan sifat Alloh. Hal ini merupakan kelaziman sebagai petaka dari kebodohannya terhadap ilmu yang agung ini, sedangkan para penebar syubhat kesesatan begitu laris di media.

Bentuk ilhâd (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla bermacam-macam. Sebagian hukumnya sampai pada tingkat kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai dengan petunjuk dalil-dalil syariat yang ada [Al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 50] .

Macam-macam bentuk ilhâd tersebut adalah sebagai berikut:

aMengingkari sebagian dari nama-Nya atau mengingkari sifat-sifat dan hukum-hukum yang dikandung nama-nama tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ) dari kelompok jahmiyah dan selain mereka.

Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd, karena kita wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla serta sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran-Nya yang dikandung nama-nama tersebut. Maka mengingkari hal tersebut termasuk penyimpangan dalam masalah ini.

b. Menjadikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya menyerupai nama-nama dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk).

Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd karena perbuatan menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk adalah kebatilan dan keburukan yang besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [asy-Syuurâ/42:11]

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:74]

c. Menetapkan bagi Allâh Azza wa Jalla nama yang tidak ditetapkan-Nya bagi diri-Nya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nashrani yang menamakan Allâh Azza wa Jalla dengan nama bapak. Juga seperti perbuatan kaum filosof (ahli filsafat) yang menamakan Allâh Azza wa Jalla dengan al-‘illatul fâ’ilah (penyebab yang berbuat).

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad, karena penetapan nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil dari al-Qur’ân dan hadits yang shahih, tidak boleh ditambah dan dikurangi). Sebab, Allâhlah yang maha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

dMenamai berhala dengan mengambil dari nama-nama Allâh Azza wa Jalla , seperti perbuatan orang-orang musyrik yang mengambil nama untuk berhala mereka al-‘uzza dari nama Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Mulia dan Perkasa), demikian juga nama al-lata dari nama-Nya “al-Ilah” (Dzat yang berhak diibadahi)

Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena nama-nama yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan bagi diri-Nya adalah khusus untuk diri-Nya semata-mata, sebagaimana firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180]

Sebagaimana hak untuk diibadahi dan disembah khusus milik Allâh Azza wa Jalla semata, karena hanya Dia-lah semata yang menciptakan, memberi rezki, memberi kemanfaatan, mencegah kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka hanya Dia-lah yang khusus memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya. [Keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 49-50 dengan ringkas dan penyesuaian. Lihat juga keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Badâ-i’ul Fawâ-id hlm.179-180] .

e. Menyebut Allâh Azza wa Jalla dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allâh Azza wa Jalla adalah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ

Sesungguhnya Allâh miskin dan kami kaya [Ali-‘Imrân/3:181]

Juga ucapan kotor mereka:

يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ

Tangan Allâh terbelenggu [al-Mâidah/5:64] [Lihat Badâi’ul Fawâid hlm.179] . (http://almanhaj.or.id/content/3581/slash/0/penyimpangan-dalam-nama-nama-dan-sifat-sifat-allh-azza-wa-jalla/)

f.  Tahrif (menyimpangkan makna), yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil. Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat  Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

gTakyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah), yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.

Karena hal ini tidak mungkin dilakukan makhluk. Untuk mengetahui bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa diketahui dengan tiga hal:

a) Melihat zat tersebut secara langsung. Dan ini tidak mungkin kita lakukan, karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

b) Ada sesuatu yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan. Dan ini juga tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal ini.

c) Ada berita yang akurat (khabar shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat Allah. Baik dari Al Qur’an maupun hadis. Karena itu, manusia yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan bentuk dan hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. (http://yufidia.com/tauhid-asma-wa-sifat)

Contoh-contoh penyimpangan dalam nama dan sifat Allah Azza wa Jalla yang tersebar di masyarakat

Banyak contoh perbuatan ini yang terjadi di masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap urusan agama mereka, terutama masalah yang berhubungan dengan keyakinan dasar dan keimanan mereka, meskipun kebanyakan penyimpangan tersebut tidak separah dan tidak sampai pada tingkat kekafiran seperti bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Meskipun demikian, tentu semua ini harus dijauhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan mendangkalkan keyakinan seorang Muslim terhadap Allâh Azza wa Jalla .

Beberapa contoh penyimpangan tersebut, di antaranya:

a. Keyakinan sebagian orang yang tidak paham agama bahwa masing-masing dari Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk mengobati penyakit tertentu.

Perbuatan ini jelas merusak keyakinan, bahkan mengandung pelecehan terhadap nama-nama Allâh yang maha indah, disamping itu juga merupakan perbuatan bid’ah yang sesat serta memalingkan manusia dari dzikir dan ruqyah yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

b. Menjadikan nama-nama Allâh sebagai jimat dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian di gantung pada kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain sebagainya.

Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik”[R. Ahmad (4/156) dan al-Hâkim no. 7513. Lihat Ash-Shahîhah no. 492]

c. Menulis nama-nama Allâh Azza wa Jalla pada pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan kagum dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan nama-nama-Nya apalagi untuk meningkatkan keimanan.
Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan, karena perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat . Juga karena nama-nama Allâh Azza wa Jalla terlalu agung dan mulia untuk dijadikan sebagai hiasan dinding dan rumah.

d. Menjadikan Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) sebagai bahan dzikir sehari-hari dengan membaca semua nama tersebut. Ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau setelah shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang sampai ratusan kali.

Adapun makna ‘berdoa dengan nama-nama Allâh’ seperti yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam surat al-A’râf ayat 180, juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal (dan memahami kandungan)nya maka dia akan masuk surga”[HR. al-Bukhâri no. 2585 dan Muslim no. 2677] , adalah menghapal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan mengamalkannya serta berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama-Nya yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.

e. Termasuk kesalahan besar dalam masalah ini adalah memberi nama seseorang dengan nama yang berarti penghambaan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, seperi ‘abdun nabi (hambanya Nabi) atau ‘abdul ka’bah (hambanya ka’bah), ‘abdul Husain (banyak terdapat di kalangan Syiah) dan lain-lainnya.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah, karena manghambakan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla adalah perbuatan syirik.

f. Juga termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah membuang kertas, buku ataupun majalah yang bertuliskan nama-nama Allâh di sembarang tempat ataupun di tempat sampah yang bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.

Perbuatan ini diharamkan dalam Islam, karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan mengagungkan nama-nama-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak menjawab salam seorang Sahabat ketika beliau sedang berada di WC [Hadits hasan shahih riwayat Abu Dâwud no. 16 dan at-Tirmidzi no.90] , dalam rangka memuliakan nama Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis [Keterangan Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdul Muhsin al-Badr dalam Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 66-69 dengan ringkas dan penyesuaian] .

Cara untuk menyelamatkan diri dari penyimpangan dan dosa besar ini

Satu-satunya cara untuk selamat dari penyimpangan besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan agama ini.

Kemudian dengan berusaha mengikuti metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan agama Islam, yaitu manhaj ulama Salaf, Ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah direkomendasikan kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [at-Taubah/9:100] {http://almanhaj.or.id/content/3581/slash/0/penyimpangan-dalam-nama-nama-dan-sifat-sifat-allh-azza-wa-jalla/}

Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait nama dan sifat Allah:

a. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).

Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada dalam Alquran, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita, ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.

b. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.

Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan, seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah, maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat makhluk.

c. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.

Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya. Dan untuk mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat tersebut. Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh tersebut. Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.

Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya, yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah bukan berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah. hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya. (http://yufidia.com/tauhid-asma-wa-sifat)

Oleh karena itulah manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah digambarkan oleh para ulama sebagai metode berislam yang a’lam wa ahkam wa aslam [Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Dar-u Ta’ârudhil ‘Aqli wan Naqli 3/95 dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ash-Shawâ’iqul Mursalah 3/1134] (yang paling sesuai dengan ilmu yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang paling bijaksana dan sesuai dengan hikmah yang agung, serta paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan tersesat dari kebenaran) {http://almanhaj.or.id/content/3581/slash/0/penyimpangan-dalam-nama-nama-dan-sifat-sifat-allh-azza-wa-jalla/}

Pembahasan selengkapnya, bacalah kedua situs (yufidia dan almanhaj) tersebut. Baca juga penyimpangan-penyimpangan dalam memahami tauhid Asma wa Shifat di http://abuzuhriy.com/tauhid-asma-wa-sifat/http://sunnah.or.id/buletin-assunnah/tauhid-asma-wa-shifat.htmlhttp://www.salaf.web.id/789/mendalami-tauhid-al-asma-wash-shifat-al-ustadz-abdul-mu.htm; dan http://ibnusarijan.blogspot.com/2008/06/makna-ilhad-dalam-asma-dan-shifat-allah.html

Dengarkan juga kajian ilmiah tentang penyimpangan dalam memahami tauhid Asma wa Shifat disini

 

Simpulan dan Penutup

Setelah penjelasan ini, rasanya sangat dungu jika ada yang menyamakan pembagian tauhid menjadi 3 dengan trinitas. Mudahnya begini, Alloh yang Maha Esa, Robbuna, mempunyai nama dan sifat Al-Malik, Ilaahinnaas (‘Ilah-nya manusia, yang wajib menjadikan segala peribadatan hanya kepada-Nya), dan sifat-sifat mulia lainnya, seperti As-Sami’ (Maha Mendengar) dan Al-Bashir (Maha Melihat). Apakah akan disamakan dengan aqidah trinitas yang mana Allah adalah salah satu dari YANG TIGA? Semoga Alloh menjaga kita dari tipu daya dan kelicikan para penebar kesesatan.

Pembagian tauhid menjadi tiga disimpulkan dari istiqra’ terhadap nash-nash Al-qur’an dan As-Sunnah yang diwarisi dari para ulama terdahulu, bukan sesuatu yang baru, apalagi diklaim ‘akal-akalan’ kaum salafi.

Bahkan inilah aqidah yang benar yang semestinya seluruh kaum muslimin memilikinya dan tidak menyelisihinya, agar mendapatkan jaminan sebagai muwahhid yang pasti masuk surga dan tidak akan kekal di neraka

Asy-Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad berkata:

“Dan tidaklah seseorang itu beriman dengan tauhid, apabila dia tidak beriman dengan pembagian ketiga tauhid yang bersandarkan dari nash-nash yang syar’i, tauhid yang diinginkan secara syar’i adalah beriman kepada keesaan Allah di dalam rububiyah, uluhiyah, serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka barang siapa yang tidak meyakini secara keseluruhan berarti dia bukanlah seorang yang bertauhid”.

Akhirnya, kami meminta kepada Allah untuk menganugerahkan tauhid yang murni serta iman yang bersih. Dan semoga Allah memberikan taufik kepada kita dalam mengikuti petunjuk penghulu para rasul serta imamnya orang-orang yang bertauhid, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/Other/Mengapa-Tauhid-Dibagi-Tiga.pdf)

Wallohu A’lam. Semoga Bermanfaat

Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat.

 Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat

 

Abu Muhammad

Palembang, 28 Jumadits Tsaniyah 1434 H/ 8 Mei 2013

 

Download dalam bentuk pdf, artikel: Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga (1 s.d 5, lengkap)

 

Leave a comment