Gallery

Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (2) [Bolehkah Dzikir Jama’i?-1]

Artikel Sebelumnya di: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (1) [Memang Apa Salahnya dengan Suara Keras?]

 

abuyahya8211.wordpress.com/

B. Hukum Dzikir Setelah Sholat dengan Berjama’ah

Tidak ada ulama salaf yang mengatakan bahwa hadits di atas merupakan dalil bolehnya dzikir jama’i ataupun doa jama’i. (http://addariny.wordpress.com/2009/12/13/mengeraskan-dzikir-stlh-jamaah-sholat-wajib/)

Berkata Asy-Syathiby rahimahullahu:

“Jika syariat telah menganjurkan untuk dzikrullah misalnya, kemudian sekelompok orang membiasakan diri mereka berkumpul untuknya (dzikrullah) dengan satu lisan dan satu suara,atau pada waktu tertentu yang khusus maka tidak ada di dalam anjuran syariat yang menunjukkan pengkhususan ini, justru di dalamnya ada hal yang menyelisihinya, karena membiasakan perkara yang tidak lazim secara syariat akan dipahami bahwa itu adalah syariat, khususnya kalau dihadiri oleh orang yang dijadikan teladan di tempat-tempat berkumpulnya manusia seperti masjid-masjid”. (Al-I’tisham 2/190) [http://abuyahya8211.wordpress.com/2011/10/12/berdoa-dan-berdzikir-secara-berjamaah/]

Syaikh DR. Sholih Al-Fauzan berkata: “Disunnahkan mengeraskan bacaanTahlil, Tasbih, Tahmid dan Takbir seusai Shalat, akan tetapi tidak dilakukan dengan suara berjama’ah dengan satu suara.” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi) [https://docs.google.com/document/d/1l40ne76DGViN1p72ewoL8LpluG8qJquLHfH-9M73aiI/edit]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz رحمه الله berkata:

“Adapun dzikir dengan cara berjama’ah sehingga setiap orang berusaha untuk sesuai dengan suara orang lain dari awal sampai akhirnya, dan mengikutinya, maka ini tidak ada asal usulnya bahkan itu adalah bid’ah, akan tetapi yang disyari’atkan adalah mereka berdzikir semua tanpa ada maksud menyatukan suara dari awal sampai akhir.” Majmu Fatawa-beliau (11/191) [http://abukhodijah.wordpress.com/2012/06/26/berdzikir-dengan-suara-keras-setelah-sholat-sholat-fardhu-adalah-sunnah/]

Lajnah Da’imah berfatwa:

”Do’a dengan suara keras setelah shalat lima waktu, ataupun sunnah rawatib. Atau do’a-do’a sesudahnya dengan cara berjama’ah dan terus-menerus dikerjakan merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Tidak ada keterangan sedikitpun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang hal ini, juga para sahabatnya radliyallahu ‘anhum. Barangsiapa yang berdo’a setelah selesai shalat fardlu atau sunnah rawatibnya dengan cara berjama’ah, maka ini adalah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan apabila mereka menganggap orang yang mengingkari hal ini atau tidak berbuat sebagaimana yang mereka lakukan sebagai orang kafir atau bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka ini adalah kebodohan dan kesesatan serta memutarbalikkan kenyataan yang ada. (Lajnah Daimah, lihat Fatwa Islamiyah 1/318-319). [http://www.darussalaf.or.id/manhaj/bidahnya-dzikir-jamaah-ala-arifin-ilham-8/]

Sebenarnya, berbicara masalah dzikir berjama’ah setelah sholat juga pasti berhubungan dengan hukum dzikir secara berjamaah secara umum. Jika saudara-saudara kita ditanya mengenai dalil tentang dzikir jama’i setelah sholat, pasti mereka membawakan dalil-dalil umum tentang dzikir yang juga mereka gunakan untuk membela dzikir jama’i yang tempo hari marak di layar kaca dengan sebutan: “Indonesia Berdzikir”

Sebelum menginjak ke bantahan, mari kita definisikan dulu mengenai dzikir jama’i

Syeikh Dr. Muhammad bin Abdurrohman alu khomis mengatakan:

“Dzikir jama’i adalah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian orang, (seperti berkumpul setelah sholat lima waktu, atau di waktu dan keadaan lainnya), untuk mengulang-ulang dzikir, doa, atau wirid, dengan suara bersama, dan dipimpin oleh satu orang, atau tanpa ada yang memimpin, tapi mereka membaca dzikir-dzikir itu dengan cara bersama-sama dengan satu suara”. (Dzikir jama’i bainal ittiba’ wal ibtida’, hal: 11). [http://addariny.wordpress.com/2009/12/05/mengkritisi-dzikir-jamai-1-utk-dewasa/]

Berikut sedikit bantahannya secara ringkas yang diambil dari makalah: “Sorotan Tajam Terhadap Dzikir Jama’i” karya: Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA., yang bisa didownload di http://abusalma.wordpress.com/2007/09/29/ebook-sorotan-tajam-terhadap-dzikir-jamaah/#more-573 atau di: http://baitussalam.files.wordpress.com/2008/03/ebook-sorotan-tajam-dzikir.pdf

Dzikir berjama’ah dengan suara nyaring, dan dikomandoi oleh satu orang sudah pernah diperingatkan oleh sahabat Abdulloh bin Mas’ud melihat sebagian orang yang bergerombol sambil membaca puji-pujian secara berjama’ah dan dipimpin oleh satu orang, beliau berkata:

والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدي من ملة محمد أو مفتتحوا باب ضلالة

“Sungguh demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian ini berada di atas satu dari dua perkara: menjalankan ajaran yang lebih benar dibanding ajaran Nabi Muhammad, atau sedang membuka pintu kesesatan.“ (Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204)

Itulah pemahaman para sahabat tentang dzikir jama’i, bandingkan dengan saudara-saudara kita yang “sanggup menghadirkan dalil shohih” dan mengklaim bahwa dzikir jama’i  itu sunnah, berikut dalil-dalil mereka:

 

1. Ayat-ayat Al-Qur’an: 

a. QS Al Ahzab: 41, katanya ayat ini senada dengan QS. Al Baqarah, ayat: 152 dan ayat 200

b. QS Ali Imran: 191

c. QS Al Ahzab: 35

Mereka berkata:

“Pada f irman-firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, yakni QS. Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, QS. Ali Imran ayat 191: Yadzkurunallah, dan QS. Al Ahzab ayat 35: Adz
Dzaakiriinallah dan Adz Dzaakiraat, ditilik dari sisi bahasa Arab, semua itu menggunakan dhamir jama’/plural (antum, hum, dan hunna) bukan dhamir mufrad/singular (anta, huwa, dan hiya). Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya Dzikir secara berjama’ah.”

Berikut bantahannya: 

Untuk membuktikan kekeliruan ini, mari kita simak ayat-ayat yang menggunakan metode serupa dengan ketiga ayat ini:

a. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, (bilamana kalian mengawininya) maka kawinilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) oleh kalian seorang wanita saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisa’: 3)

Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan dhamir jama’/plural sebagaimana yang ada pada ketiga ayat di atas.

Yang menjadi pertanyaan adalah: jika setiap ayat yang menggunakan dhamir jama’/plural apakah berarti ada isyarat untuk melakukannya secara berjama’ah??

Bila memang demikian, apakah pada ayat ini juga disyari’atkan untuk menikah berjama’ah? Apalagi pada akhir ayat Allah berfirman: “……nikahilah oleh kalian seorang wanita saja.” Bila mereka katakan: ya, berarti mereka -na’uzubillah- akan memfatwakan bolehnya kumpul kebo, satu wanita dinikahi oleh seratus orang. Inilah kelaziman pemahaman aneh tersebut.

b. Pada ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub maka mandilah. Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka dan tangan kalian dengan tanah itu.” (QS Al Maidah: 6)

Senada dengan logika di atas:

– Apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang disyariatkannya bertayamum rame-rame (berjama’ah), bagi yang sakit dan safar, hanya karena ayatnya menggunakan dhamir jama’?

– Apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang disyariatkannya mandi janabah masal, misalnya dipemandian umum, atau kolam renang umum, karena ayatnya menggunakan dhamir jama’?

c. Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Istri-istri kalian adalah (seperti) ladang (tanah bercocok tanam) kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari sisi manapun kalian suka.” (QS Al Baqarah: 223)

Senada dengan logika di atas:

– Apakah ayat ini menganjurkan para suami untuk menggauli istri-istrinya secara masal (satu ruang untuk beratus-ratus pasangan)?! Kalau demikian halnya, apa bedanya antara manusia dengan binatang?!

Pemahaman yang benar

a. Para ulama’ ahli ilmu ushul al fiqih mengatakan bahwa untuk mengungkapkan suatu makna yang bersifat umum, dikenal apa yang diistilahkan oleh mereka dengan sebutan: shiyagh al ‘umum صيغ العموم “lafazh -lafazh yang menunjukkan akan makna yang bersifat umum.” Diantara shiyagh al ‘umum ialah kata-kata jama’, semacam الذاكرين “laki-laki yang berDzikir” dan الذاكرات “wanita-wanita yang berDzikir”.

Fungsi shiyagh al umum ialah untuk menunjukkan keumuman, sehingga kata itu mencakup seluruh orang yang memiliki kriteria seperti yang disebut dalam ungkapan itu. Misalnya, ayat 41 dari surat Al Ahzab di atas, fungsi penggunaan shiyagh al ‘umum, yaitu الذين , ialah agar mencakup setiap orang yang memiliki kriteria yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu kriteria keimanan.

Dengan demikian perintah berDzikir yang disebutkan dalam ayat ini tertuju kepada seluruh orang yang beriman. Dan ayat 35 dari surat Al Ahzab, yang menggunakan الذاكرين ialah agar janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa ampunan dan pahala yang besar didapat oleh seluruh orang yang banyak berDzikir, baik lelaki atau perempuan. Inilah fungsi penggunaan shiyagh al’ umum bukan seperti yang disangka orang-orang yang salah dalam memahami di atas. (Agar lebih jelas, silahkan membaca kitab-kitab ushul al f iqih apa saja, pasti anda akan mendapatkan pembahasan dengan tema: Al ‘Umum. Sebagai misal: Al Mustasyfa oleh Al Ghozali 3/212-dst, Raudhat An Nadlir, oleh Ibnu Qudamah 2/103-dst, Irsyad Al Fuhul, oleh As Syaukani 1/415-dst).

b. Perintah-perintah dalam Al Qur’an dan As Sunnah, ada yang telah diperinci dan disebutkan batasan-batasannya dengan jelas, dan ada yang tidak diperinci. Perintah jenis pertama disebut dengan Al Muqayyad, dan jenis kedua disebut dengan Al Muthlaq.

Asy-Syaukani menjelaskan sikap kita dalam menghadapi kedua jenis perintah ini:

“Ketahuilah bahwa Al Khithab (dalil-dalil) bila datang dalam bentuk muthlaq dan tidak ada yang membatasinya (merincinya), maka lazim untuk diamalkan sesuai dengan apa adanya (yaitu dalam keadaan muthlaq), dan bila datang dalam keadaan telah diberikan batasan-batasan (muqayyad) , maka lazim untuk diamalkan sesuai dengan batasan-batasan itu…” (Irsyad Al Fuhul, oleh As Syaukani 2/4).

Berdasarkan kedua kaidah dalam ilmu ushul fiqih ini, kita dapat memahami bahwa ketiga ayat di atas, bila dipandang dari sisi orang yang ditujukan kepadanya perintah untuk berDzikir, maka kita katakan bahwa ketiga ayat itu bersifat umum, karena menggunakan dhamir jama’/plural sehingga mencakup seluruh orang mukmin, tanpa terkecuali, terlepas dari apakah mereka melakukannya dengan sendirian atau tidak. Dan bila kita kita tinjau dari sisi amalan yang mereka diperintah dengannya yaitu Dzikir, ketiga ayat itu dikatakan ayat-ayat yang muthlaq, karena Allah subhanahu wa ta’ala pada ketiga ayat di atas tidak memberikan batasan-batasan tertentu, baik batasan
yang berkaitan dengan bentuk Dzikirnya, juga yang berhubungan dengan metode, dan waktu pelaksanaannya.

Pemahaman ini akan menjadi jelas bila kita membaca ayat 41, kemudian dilanjutkan dengan membaca ayat 42 surat Al Ahzab:

يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا

“Hai orang-orang yang beriman, berDzikirlah (menyebutlah nama) Allah, dengan Dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS Al Ahzab: 41-42)

Ayat ke-42 ini mengisyaratkan bahwa berDzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dapat dilakukan kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu. Akan lebih jelas lagi jika kita membaca ayat 191 surah Ali Imran, dimana dzikir dapat dilakukan dalam segala situasi dan kondisi, baik disaat berdiri, atau duduk, atau berbaring.

 

2. Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam

a.  “Tidaklah suatu kaum duduk-duduk menyebut nama Allah Azza wa Jalla (berDzikir), melainkan mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, dan dipenuhi oleh kerahmatan, dan akan turun kepada mereka kedamaian, dan mereka akan disebut-sebut oleh Allah dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (Riwayat Imam Muslim 4/2074, hadits no: 2700)

b. “…bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka.” (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits no: 6970)

Untuk mengetahui maksud dan makna hadits-hadits ini, mari kita simak bersama keterangan para ulama’ tentang maksud dari kata majlis Dzikir

Abu Hazzan berkata: “Aku pernah mendengar Atha’ bin Abi Rabah (salah seorang tabi’in) berkata: ‘Barang siapa yang duduk di majlis Dzikir, maka Allah akan mengampuni dengannya sepuluh majlis kebathilan. Dan bila majlis Dzikir itu ia lakukan disaat berjihad di jalan Allah, niscaya Allah akan mengampuni denganya tujuh
ratus (700) majlis kebathilan.’ Abu Hazzan berkata: Aku bertanya kepada Atha’: Apakah yang dimaksud dengan majlis Dzikir? Ia menjawab: yaitu majlis (yang membahas) halal dan haram, bagaimana engkau menunaikan shalat, bagaimana engkau berpuasa, bagaimana engkau menikah, bagaimana engkau menceraikan, bagaimana engkau menjual dan bagaimana engkau membeli.” (Riwayat Abu Nu’aim , dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’: 3/313)

Imam An Nawawi As Syafi’i, berkata:

“Ketahuilah bahwa keutamaan/pahala berDzikir tidak hanya terbatas pada bertasbih, bertahlil, bertahmid (membaca alhamadulillah), bertakbir, dan yang serupa. Akan tetapi setiap orang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala, berarti ia telah berDzikir kepada Allah Ta’ala, demikianlah dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan ulama’ yang lainnya. Atha’ (bin Abi Rabah) berkata: ‘Majlis-majlis Dzikir ialah majlis-majlis yang membicarakan halal dan haram, bagaimana engkau membeli dan menjual, mendirikan shalat, berpuasa, menikah, menceraikan, berhaji dan yang serupa dengan ini‘.” (Al Azkar, oleh Imam An Nawawi 9).

Baca juga keterangan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fath Al Bari, 11/209; Subul Al Salam, oleh Muhammad bin Ismail Al Shan’ani 4/390-dst, Tuhfah Al Ahwadzi bi Syarh Jami’ At Tirmizi, oleh Al Mubarakfuri 9/222

Hal ini selaras dengan hadits Riwayat Imam Muslim 4/2074, hadits no: 2700 di atas. Tatkala Imam An Nawawi mensyarah hadits ini, beliau berkata:

“Dan -insya Allah- keutamaan ini juga diperoleh bagi orang-orang yang berkumpul di sekolahan-sekolahan, tempat-tempat pengajian dan yang serupa dengan keduanya, sebagaimana halnya berkumpul di masjid.” (Syarah Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 17/22).

Dengan demikian hadits-hadits ini bersifat umum, mencakup segala amaliah ketaatan, baik berupa ucapan lisan, atau amalan batin, atau amalan anggota badan, tidak hanya terkait dzikir berjama’ah.

Agar lebih jelas lagi, mari kita simak penuturan sahabat Anas bin Malik berikut ini:

عن محمد بن أبي بكر الثقفي أنه سأل أنس بن مالك وهما غاديان من منى إلى عرفة: كيف كنتم تصنعون في هذا اليوم مع رسول الله ، فقال: كان يهل المهل منا فلا ينكر عليه ويكبر المكبر منا فلا ينكر عليه

“Dari Muhammad bin Abu Bakar Ats Tsaqafi, bahwa ia pernah bertanya kepada sahabat Anas bin Malik Rodhiallahu ’anhu tatkala ia bersamanya berjalan dari Mina menuju ke padang Arafah: Bagaimana dahulu kalian berbuat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada hari seperti ini? Maka beliau menjawab: Dahulu ada dari kami yang membaca tahlil, dan tidak diingkari, dan ada dari kami yang membaca takbir, juga tidak diingkari.” (Riwayat Muslim 2/933, hadits no: 1285)

Inilah salah satu contoh nyata metode berDzikir yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya, masing-masing berDzikir dengan sendiri-sendiri, tidak dengan dikomando oleh satu orang, kemudian yang lainnya mengikuti, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh tertentu dan kebanyakan para pembimbing manasik haji yang selalu mengomando jama’ahnya tatkala berDzikir, dengan satu suara dan satu bacaan pula.

Kisah yang dituturkan oleh sahabat Anas bin Malik tentang metode berDzikir yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya inilah yang dijadikan pijakan Ibnu Mas’ud (sebagaimana dalam Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204 di atas), tatkala melihat segerombol orang berDzikir berjama’ah. Maksud beliau Rodhiallahu ’anhu ialah: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya bila berDzikir, tidak dengan cara dikomando oleh satu orang, dengan satu suara dan bacaan yang sama, akan tetapi masing-masing berDzikir dengan sendiri-sendiri.

Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:

“Dari Abi Utsman (An Nahdi) ia berkata: Salah seorang gubernur pada zaman khilafah Umar bin Al Khatthab menuliskan laporan yang isinya: Sesungguhnya di wilayah saya, ada suatu kelompok orang yang berkumpul-kumpul kemudian berdoa bersama-sama untuk kaum muslimin dan pemimpin. Maka Umar menulis surat kepadanya: Datanglah dan bawa mereka besertamu. Maka gubernur itu datang, (dan sebelum ia datang) Umar telah memerintahkan penjaga pintunya untuk menyiapkan sebuah
cambuk. Dan tatkala mereka telah masuk ke ruangan, spontan Umar langsung memukul pemimpin kelompok itu dengan cambuk.” (Riwayat Ibnu Abi Syibah dalam kitabnya Al Mushannaf 5/290, no: 26191)

Mari kita telaah lagi hadits: “…bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka.” (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits no: 6970).

Hadits ini menunjukkan bahwa ia berDzikir sendirian, akan tetapi di tempat keramaian, atau di tengah-tengah suatu majlis. Seandainya yang dimaksud dari hadits ini ialah ia berDzikir dengan cara berjama’ah, maka firman-Nya tidak seperti itu bunyinya, akan seperti berikut: Bila ia mengingat-Ku dengan berjama’ah/ramai-ramai.

Begitu juga dengan ayat 28 surah Al Kahfi,  tidak sedikitpun ada dalil atau isyarat yang menunjukkan akan disyari’atkannya Dzikir berjamaah. Bacalah penjelasan Ibnu Jarir At Thabari dalam Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Aay Al Qur’an, 15/234

Apalagi jika kita timbang lagi dengan  hadits di pembahasan awal:

“Dari Abi Sa’id ia berkata: Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam beri’itikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang saling mengeraskan suara bacaan mereka, maka beliau membuka tabir dan bersabda: Ketahuilah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah kalian saling mengeraskan dalam bacaan kalian, atau beliau bersabda: (janganlah saling mengeraskan) dalam shalat kalian.” (Riwayat Abu Dawud 2/57, hadits no: 1332)

Bukankah suara yang akan ditimbulkan oleh sound sistem dari dzikir berjama’ah akan terdengar keras sekali? Dan Bukankah suara jama’ah yang mengikuti bacaannya
akan semakin menambah keras suaranya? Apakah ini semua selaras dengan hadits ini??!

Selengkapnya tentang bantahan terhadap dzikir berjama’ah, bacalah makalah tersebut.

 

Bersambung ke: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (3) [Bolehkah Dzikir Jama’i?-2]

One comment on “Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (2) [Bolehkah Dzikir Jama’i?-1]

Leave a comment