Gallery

Saya Sedang Tertimpa Musibah, Alhamdulillah… (1)

learntotradethemarket.com

learntotradethemarket.com

 

Bisakah kita bersikap demikian jika sedang dilanda musibah, baik berupa sakit, miskin, ditinggal mati oleh orang yang kita cintai, dan lain-lain?

Jika ya, selamat, berati Anda telah mencapai derajat tertinggi dalam menghadapi musibah, yakni bersyukur.  Berikut penjelasannya:

Sesungguhnya manusia di dalam menghadapi dan menyelesaikan musibah ada empat keadaan:

1. Marah dan murka.

Hal ini dapat terjadi dengan hati, lisan atau anggota tubuh. Marah dengan hati berupa adanya ketidak-sukaan terhadap Allah seperti merasa Allah telah mendzaliminya dan sebagainya. Marah dengan lisan berupa mencela takdir atau mencela waktu dengan lisannya. Sedangkan marah dengan anggota tubuhnya dilakukan dengan cara misalnya memukul pipi, menjambak rambut atau merobek-robek pakaiannya. Orang yang demikian tidak mendapatkan pahala atas musibah tersebut bahkan mendapatkan dosa.

2. Bersabar

Yaitu dengan menahan diri, tidak mengucapkan dan berbuat sesuatu yang dimurkai Allah dan tidak ada di hatinya perasaan menyalahkan Allah, walaupun ia tidak menyukai musibah tersebut. Orang seperti ini mendapatkan pujian dari Allah dalam firmanNya,

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,’Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157).

3. Ridha

Yaitu dengan lapang dada menerima musibah tersebut dan meridhainya seakan-akan tidak terkena mushibah. Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sabar diatas.

4. Bersyukur

Yaitu dengan memuji Allah atas musibah tersebut. Seperti dicontohkan Rasulullah dalam hadits A’isyah beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam apabila melihat apa yang ia sukai menyatakan, ‘Alhamdulillahilladzi bini’matihi Tatimmu Al Shalihaat.’ Dan bila melihat (mendapati) sesuatu yang tidak beliau sukai mengucapkan, ‘Alhamdulillahi ‘Ala Kulli Hal.’” (HR Ibnu Majah dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ no. 4727). (http://ustadzkholid.com/sabar-menghadapi-cobaan/)

Baca juga penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin yang sama dengan hal di atas di http://www.salafy.or.id/sikap-sabar-adalah-suatu-kemestian/

Jika kita sudah mencapai tingkatan keempat ini -padahal sedikit sekali yang bisa mencapainya- tentu kita bisa mengucapkan bacaan Alhamdulillahi ‘Ala Kulli Hal dengan tulus. Semoga Alloh memberikan taufiq bagi kita untuk bisa mencapainya.

 

Sikap Minimal dalam Menghadapi Musibah adalah Sabar

Jika tidak bersabar, maka hanya akan membuahkan dosa (seperti penjelasan di atas)

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang berupa kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak beriman.

Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.

Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik bagi dirinya.

Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah. Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.

Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan atau menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi orang kafir.

Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).

Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti. Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama-sama buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/107-108) (http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/hakikat-sabar-2.html)

Lalu kapan seoarang dikatakan sabar?

Seorang dikatakan telah sabar menerima musibah apabila telah melakukan hal-hal berikut,

1. Tidak ada dihatinya perasaan buruk sangka kepada Allah dan takdirnya.

2. Tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah.

3. Lisannya tidak mencela Allah, takdirnya atau masa, bahkan lisannya mengucapkan, ‘Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un’ sebagaimana dalam ayat diatas. Akan lebih baik lagi bila ditambah dengan doa yang diajarkan Rasululah kepada kita dalam hadits Ummu Salamah,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah lalu menyatakan apa yang Allah perintahkan, ‘Innaa lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un Allahumma’ Jurni fi mushibati wa Akhlif li Khairan minha.’ Kecuali Allah gantikan baginya yang lebih baik.” (HR. Muslim). [http://ustadzkholid.com/sabar-menghadapi-cobaan/] Lihat juga doa ini di dalam kitab Hisnul Muslim 

 

Kesabaran yang Bernilai Plus

Bagaimana agar kesabarannya mempunyai nilai plus? Tentu dia harus ridho atas musibah yang menimpanya

Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.

Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).

Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunnahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393) [http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/hakikat-sabar-2.html]

 

Puncak Kesabaran 

Selanjutnya, sebagai seorang muslim yang selalu bersemangat untuk mencari puncak kebaikan dalam kesabaran, tentu dia akan mencari cara, bagaimana agar dia bisa bersyukur ketika tertimpa musibah, sehingga dia bisa mengucapkan kalimat Alhamdulillahi ‘Ala Kulli Hal dengan ikhlas.

Perlu diketahui bahwa musibah yang menimpa seorang muslim akan membuahkan kebaikan dan menghapuskan dosa jika disikapi dengan sabar

Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)). (Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 126-127) [http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/hakikat-sabar-2.html]

Syaikhul Islam mengatakan,

“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.”

“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya.”

أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354). [http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/seberkas-cahaya-di-tengah-gelapnya-musibah.html]

 

Bersambung ke: Saya Sedang Tertimpa Musibah, Alhamdulillah… (2)

3 comments on “Saya Sedang Tertimpa Musibah, Alhamdulillah… (1)

Leave a comment