Gallery

Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (6) [Hukum Celana di Bawah Mata Kaki (Isbal)-3]

Artikel sebelumnya di: Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (5) [Hukum Celana di Bawah Mata Kaki (Isbal)-2]

 

pustakaimamsyafii.com/

pustakaimamsyafii.com

2. Kisah Abu Bakar yang Isbal tetapi Tidak Sombong

Kisah Abu Bakar As-Shidiq kadang-kadang menjadi acuan alternatif sebagian orang untuk melegalisasikan isbal yang dilakukannya. Sekali lagi, berikut ini kami cantumkan redaksinya:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ : لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ

Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, beliau bersabda, ” Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.”, Abu Bakar mengeluh “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengatakan :”Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong.” (HR Al-Bukhari no 5784)

Dengan berbekal tekstual tanya-jawab di atas, tersimpul ungkapan demikian:”Saya isbal bukan lantaran sikap sombong persis seperti pengakuan kepada Rasullah shallallahu ‘alihi wa sallam, tanpa ada unsur takabur. Saya dan Abu Bakar memiliki kedudukan sama di depan hukum Allah, apa yang boleh bagi Abu Bakar maka boleh juga bagi saya. Kalau Abu Bakar boleh untuk isbal tanpa sombong maka saya pun juga boleh melakukannya.”

Maka jawabannya :

Ibnu Hajar menjelaskan :”Sebab isbalnya sarung Abu Bakar adalah karena tubuhnya yang kurus”. (Fathul Baari 10/314)

Ibnu Hajar menambah, “Pada riwayat Ma’mar yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (redaksinya):

إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي أَحْيَانًا

Sesungguhnya sarungku terkadang turun .” (Fathul Baari 10/314)

Abu Bakar adalah orang yang kurus, jika beliau bergerak, berjalan atau melakukan gerakan yang lainnya, pakaian bawahnya (izar), melorot turun tanpa disengaja. Namun jika beliau menjaga (memperhatikan) sarungnya maka tidak menjadi turun.

Hadits ini menunjukan bahwa secara mutlak, tidak masalah, sarung yang terjulur di bawah mata kaki kalau tanpa sengaja (Fathul Baari 10/314), sebagaimana Rasulullah pernah mengisbal sarung beliau tatkala tergesa-gesa untuk shlolat gerhana matahari. Abu Bakroh menceritakan:

خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ, فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ

“Terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada di sisi Nabi, maka Nabi pun berdiri dalam keadaan mengisbal sarung beliau karena tergesa-gesa, sampai memasuki masjid.” (HR Al-Bukhari no 5785)

Ibnu Hajar berkesimpulan, “Pada hadits ini (terdapat dalil) bahwa isbal (yang muncul) dengan alasan ketergesaan tidak termasuk dalam larangan” (Al-Fath 10/315)

Ada beberapa point untuk mencounter orang yang bepegang erat dengan hadits Abu Bakar:

a. Sangat tepat bahwa anda dan Abu Bakar sama kedudukannya di mata hukum, apa yang menjadi dispensasi bagi Abu Bakar juga berlaku bagi saudara. Akan tetapi, apakah isi kalbu anda sama persis dengan yang terdapat dalam hati Abu Bakar??!!.

b. Abu Bakar kita pastikan tidak sombong karena ada nash sharih dan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwasanya Ash-Shiddiq tidak sombong. Kalau saudara bisa menghadirkan persaksian Nabi bahwa saudara bebas dari kecongkakan saat berisbal-ria, maka kami sami’na wa atha’na. Bahkan Syaikh Utsaimin sendiri menantang: “Jika kami mengingkarimu maka silahkan kau potong lidah kami”. Namun ini mustahil, bagaimana mungkin anda membawakan mendatangkan persaksian Rasulullah. (Syarh Al-Ushul min ‘ilmil ushul 335)

c. Isbal yang terjadi pada Abu Bakar bukan karena faktor kesengajaan. Beliau bahkan menghindarinya, namun karena beliau orang yang tidak berbadan gemuk, akibatnya pakaian bawah beliau melorot turun di bawah mata kaki. Adapun anda, sengaja melakukannya, bahkan kepada penjahit, anda menginsruksikan “panjangkan celanaku (sekian),”, “turunkan celanaku (sekian)”.

d. Anggaplah argumentasi anda itu benar bahwa isbal tanpa kesombongan tidak bermasalah, namun secara implisit, jika saudara sedang isbal berarti saudara sedang memproklamirkan diri bahwa saudara bukanlah orang yang sombong tatkala sedang berisbal. Padahal Allah berfirman : فَلا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى . Artinya: “Maka Janganlah Kalian mentazkiah diri kalian, Allah lebih tahu siapa yang bertaqwa”

e. Berkaitan dengan kisah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, tidak ada satu riwayat pun yang menceritakan, usai mendengarkan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tersebut di atas, lantas beliau ia berisbal ria sepanjang hari. Pada prinsipnya, riwayat tersebut menunjukkan bahwa pakaian bawah beliau tidak melewati mata kakiakan tetapi tanpa disengaja turun, sehingga beliau harus menariknya kembali. Berbeda dengan mereka yang dari awal pakaiannya melebihi mata kaki, dengan demikian kisah Abu Bakar tidak bisa dijadikan sebagai pegangan. (http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/273-isbal-no-apa-sih-susahnya-wong-tinggal-ninggikan-celana-sedikit-kan-masih-tetap-keren)

f. Yang lebih penting, Abu Bakar memahami bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang diharamkan, baik dengan atau tanpa niat sombong, karena itu beliau langsung memberikan alasan kepada Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam

g. Hadits tersebut dibawakan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai berikut :

عن زيد بن أسلم سمعت بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيلاء لم ينظر الله عز وجل إليه قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا فقال من هذا فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد الله فارفع إزارك قال فرفعته قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت إلى أبي بكر فقال من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر انه يسترخي إزاري أحيانا فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست منهم

Dari Zaid bin Aslam : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid : Adalah Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kain sarung yang dikenakannya yang berbunyi karena terseret. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapakah ini”. Aku berkata : “Aku adalah Abdullah bin ‘Umar”. Beliau berkata : “Apabila engkau adalah Abdullah bin ‘Umar, angkatlah kain sarungmu”. Maka ia pun mengangkat kain sarungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambahkan : “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar mengangkat lagi hingga sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar kemudian bersabda : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Maka Abu Bakar berkata : “Bahwasannya kain sarungku sering turun/melorot”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk mereka (orang-orang yang sombong)” [HR. Ahmad juz 2 nomor 6340].

Dalam hadits tersebut ada dua perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua orang shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada kesempatan pertama beliau menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang dikenakannya. Dan pada kesempatan kedua, beliau menegur Abu Bakar. Perbedaannya, dalam kasus Abu Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu Bakar bukan termasuk orang-orang yang sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita anggap sebagai dalil bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang bersamaan akan kita katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong sehingga beliau tetap menyuruh untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya? Tentu tidak. Hukum yang berlaku pada Ibnu ‘Umar sama dengan yang berlaku pada Abu Bakar. Hanya saja Abu Bakar telah menyatakan di riwayat sebelumnya bahwa pakaian tersebut turun jika ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak sengaja melakukannya.

Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal secara mutlak (dengan lafadh : istirkhaa’). Berikut riwayat tersebut :

عن بن عمر قال مررت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع إزارك فرفعته ثم قال زد فزدت فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال أنصاف الساقين

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku melewati Rasulullah shallallaah ‘alaihi wasallam sedangkan kain sarungku turun (istirkhaa’)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Abdullah, angkatlah kain sarungmu”. Maka akupun mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda lagi : “Tambah !” Maka aku menambahkannya. Maka semenjak saat itu aku selalu menjaganya. Maka sebagian manusia bertanya kepada Ibnu ‘Umar : “Sampai batas mana kain sarung tersebut diangkat ?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Sampai batas pertengahan kedua betis” [HR. Muslim nomor 2086].

Kata istirkhaa’ di sini menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan yang disegaja? (walau dengan alasan tidak sombong). Terkait dengan kasus Abu Bakar, maka tidak ada ruang penafsiran untuk membawa ucapan Rasululla hshalallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar sebagai dalil pembolehan isbal dengan tidak sombong. Wallaahu a’lam.

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قوله لست ممن يصنعه خيلاء في رواية زيد بن أسلم لست منهم وفيه أنه لا حرج على من انجر إزاره بغير قصده مطلقا

“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : ’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan’ dan pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya engkau bukan termasuk mereka’ ; sabda beliau tersebut menunjukkan bahwa orang yang pakaiannya melorot (sehingga isbal) dengan tanpa sengaja adalah tidak mengapa” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276]. (http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/hadits-hadits-tentang-pengharaman-isbal.html)

Sebuah renungan…

Sombong adalah masalah hati. Saat menegur orang yang isbal sebagaiamana yang dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam demikian juga para sahabat, mereka tidak pernah sama sekali bertaanya sebelum menegur: “Apakah engkau melakukannya karena sombong? Kalau tidak, no problem. Kalau benar lantaran sombong, angkat celanamu!” Seandainya isbal tanpa diiringi sombong diijinkan, artinya tatkala menegur orang yang isbal seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam sedang menuduhnya sombong. Demikian juga para sahabat tatkala menegur orang yang isbal berarti telah menuduhnya sombong. Padahal kesombongan tempatnya di hati, sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabat.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda : إِنِّي لَمْ أُوْمَرْ أَنْ أُنَقِّبَ قُلُوْبَ النَّاسِ . Artinya: “Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk mengorek isi hati manusia .” (HR. Bukhari no 4351)

Syaikh Bakr Abu Zaid berargumen, “Kalau larangan isbal hanya hanya bertautan dengan sikap sombong, tidak terlarang secara mutlak, maka pengingkaran terhadap isbal tidak boleh sama sekali, karena kesombongan merupakan amalan hati. Padahal telah terbukti pengingkaran (Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallamdan para sahabat) terhadap orang yang isbal tanpa mempertimbangkan motivasi pelakunya. (sombong atau tidak).” (Haduts Tsaub hal 22)

Syaikh Al-Albani berkesimpulan: “Kisah ini (hadits Ibnu Umar-red) merupakan bantahan kepada para masyaikh (para kyai, pen) yang memanjangkan jubah-jubah mereka hingga hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka tidak meninggalkan isbal tersebut demi mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam kepada Ibnu Umar (untuk mengangkat sarungnya) ataukah hati mereka lebih suci dari isi hati Ibnu Umar?” (As-Shahihah 4/95).

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tetap menegur Ibnu Umar, padahal Ibnu Umar sebuah figur yang jauh dari kesombongan, bahkan beliau termasuk sahabat yang mulia dan paling bertakwa, namun Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tidak membiarkannya isbal, beliau tetap memerintahkannya untuk mengangkat sarungnya. Bukankah ini menunjukan bahwa adab ini (tidak isbal) tidak hanya berlaku pada orang yang berniat sombong saja ?.

Bahkan Ibnu Umar sangat takut dirinya terjatuh dalam kesombongan karena memakai pakaian yang menunjukan kesombongan

Dari Qoz’ah berkata, “Aku melihat Ibnu Umar memakai pakaian yang kasar atau tebal, maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa sebuah baju yang halus yang dibuat di Khurosaan dan aku senang jika aku melihat engkau memakainya.” Ibnu Umar berkata, “Perlihatkanlah kepadaku”, maka beliaupun memegangnya dan berkata, “Apakah ini dari kain sutra?”. Aku berkata, “Bukan, ia terbuat dari kain katun”. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku takut untuk memakainya, aku takut aku menjadi seorang yang sombong lagi membanggakan diri dan Allah tidak suka semua orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ III/233)

Berkata Adz-Dzahabi mengomentari kisah ini, “Setiap pakaian yang menimbulkan pada disi seseorang sikap sombong dan membanggakan diri maka harus ditinggalkan meskipun pakaian tersebut bukan terbuat dari emas ataupun kain sutra. Karena sesungguhnya kami melihat seorang pemuda yang memakai jenis pakaian mahal yang harganya empat ratus dirham dan yang semisalnya, dan sikap sombong dan angkuh nampak sekali dalam cara jalannya, maka jika engkau menasehatinya dengan kelembutan maka ia akan menentang dan berkata, “Tidak ada rasa angkuh dan rasa sombong (pada diriku)”. Padahal Ibnu Umar takut rasa angkuh menimpanya.

Demikian juga engkau melihat seorang ahli fikih yang hidupnya mewah jika ditegur karena celananya yang molor hingga di bawah dua mata kaki dan dikatakan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda, (Apa saja dari sarung yang di bawah mata kaki maka di neraka), maka ia berkata, “Sesungguhnya ini hanya berlaku pada orang yang menjulurkan sarungnya karena sombong, dan aku tidaklah melakukannya karena sombong”, maka engkau lihat dia menentang dan berusaha menyatakan bahwa dirinya yang bodoh itu terbebas dari sifat sombong, dan ia pergi ke dalil yang umum (yang tidak menyebutkan kesombongan –pen) lalu ia khususkan dengan hadits lain yang terpisah yang menyebutkan kesombongan. Dia juga mencari dispensasi dengan berdalil dengan perkataan Abu Bakar As-Shiddiiq, “Wahai Rasulullah, sarungku molor (hingga di bawah mata kaki)”, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Engkau tidaklah termasuk orang-orang yang melakukannya karena sombong”.

Maka kami katakan, “Abu Bakar tidaklah mengencangkan sarungnya di bawah mata kaki sejak awal, akan tetapi beliau mengencangkan sarungnya di atas mata kaki kemudian berikutnya sarungnya tersebut molor”…dan hukum larangan ini juga berlaku pada orang yang memanjangkan celana panjangnya hingga menutupi mata kaki….” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ III/234)

Bukti lain, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam juga menegur Jabir bin Sulaim, seorang penduduk dari Tsaqif (lihat : As-Shahihah no 1441), dan ‘Amr bin Zuroroh Al-Anshori, merekapun akhirnya mengangkat sarung mereka hingga tengah betis (Lihat Hadduts Tsaub, hal 22). [http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/273-isbal-no-apa-sih-susahnya-wong-tinggal-ninggikan-celana-sedikit-kan-masih-tetap-keren]

 

Dalil-dalil yang Dijadikan Dasar akan Bolehnya Isbal jika Tidak Sombong

1. Hadits Abu Bakar (lebih tepatnya Ibnu Umar) [HR Al-Bukhari no 5784]

2. Hadis Abu Bakrah (HR Al-Bukhari no 5785)

Kedua hadits di atas sudah dibahas, bahwa keduanya tidak disengaja, bahkan isbal-nya Abu Bakar sudah ditazkiyah oleh Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk kesombongan.

3. Atsar Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan; مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202)

عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.

Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R. Ibnu Abi Syaibah)

Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.

Jawab:

Tentang atsar Ibnu Mas’uud, maka itu tidak bisa menjadi dalil kebolehan isbal. Ibnu Mas’uud melakukan isbal karena untuk menutupi cacatnya, dan itu boleh. Pembolehan ini dengan adanya sebab, seperti misal pembolehan salah seorang shahabat memasang emas di hidungnya yang cacat. Padahal, emas dilarang dipakai oleh laki-laki. Apakah dengan riwayat ini akan dikatakan bahwa emas boleh hukumnya dipakai laki-laki secara mutlak ?

4. Atsar Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan; المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.

Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)

Riwayat yang lain berbunyi; سنن النسائي الكبرى (5/ 484)

عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه

Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R. An-Nasai)

Lafadz yang berbunyi: حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه (“hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya“)

Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki.

Jawab:

Riwayat Ibnu ‘Abbaas yang dibawakan Ath-Thabaraaniy (9/89) adalah lemah karena faktor Syariik bin ‘Abdillah Al-Kuufiy, seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].

Adapun riwayat Ibnu ‘Abbaas yang terdapat dalam As-Sunan Al-Kubraa selengkapnya berbunyi :

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ إِذَا اتَّزَرَ، أَرْخَى مُقَدَّمَ إِزَارِهِ، حَتَّى تَقَعَ حَاشِيَتُهُ عَلَى ظَهْرِ قَدَمِهِ، وَيَرْفَعَ الإِزَارَ مَمَا وَرَاءَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: لَمْ تَتَّزِرُ هَكَذَا؟ قَالَ: ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّزِرُ هَذِهِ الأَزْرَةَ “

Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas apabila memakai sarung, ia menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh belakang kakinya. Dan ia mengangkat kain sarung yang di belakangnya. Aku katakan kepadanya : “Mengapa engkau mengenakan seperti itu ?”. Ibnu ‘Abbaas menjawab : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenakan kain sarung ini (seperti yang aku kenakan)”.

Perhatikan riwayat tersebut. Perkataan bahwa ujung sarung Ibnu ‘Abbaas menyentuh belakang kakinya itu makna bukanlah isbal, akan tetapi ia masih sebatas mata kaki. Makna itu sangat memungkinkan. Bagaimana bisa ditafsirkan bahwa sifat sarung Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di bawah mata kaki, sementara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah :

هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

“Ini (yaitu pertengahan betis) adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].

Wallaahu a’lam. (http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/hadits-hadits-tentang-pengharaman-isbal.html, bagian komentar)

 

Bersambung ke: Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (7) [Hukum Celana di Bawah Mata Kaki (Isbal)-4]

Leave a comment