Gallery

Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (5) [Masalah Biji Tasbih – 2]

Artikel Sebelumnya di: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (4) [Masalah Biji Tasbih – 1]

 

seteteshidayah.wordpress.com/

seteteshidayah.wordpress.com/

2. Pendapat yang tidak membolehkan, bahkan membid’ahkan

Adapun para ‘Ulama yang mengingkari pemakaian ‘biji tasbih’ sebagai alat dzikir dan menyatakan sebagai bid’ah adalah beberapa ulama sekarang, seperti Syaikh Al Albani,  Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al BadrSyaikh Bakr Abu Zaid (Beliau telah menyusun kitab As Subhah Tarikhuha wa Hukmuha), dan lainnya. (http://www.ustadzfarid.com/2011/12/menghitung-dzikir-dengan-biji-tasbih.html)

Lihatlah perkataan mereka secara lengkap di situs tersebut dan di: http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/09/tasbih-bidahkah/

Mereka berdalil dengan:

a. Hadits-hadits yang memerintahkan untuk berdzikir dengan ruas-ruas jari (hadits Yusairah dan perintah Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada para istri tentang berdzikir dengan jari tangan, serta hadits Abdulloh bin Amr yang melihat Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam berdzikir dengan jari tangan kanannya, sebagaimana di awal pembahasan)

Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits yang ‘membolehkan’ (hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, Shafiyah binti Huyai, Ali bin Abi Tholib, dan Abu Huroiroh, di atas) menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir.  Padahal  hadits-hadits tersebut (hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dan Shafiyah binti Huyai) ada perselisihan pendapat tentang keshohihannya, bagaimana jika haditsnya palsu (hadits Ali bin Abi Tholib dan dan Abu Huroiroh)?

b. Atsar-atsar para sahabat yang melarang pemakaian ‘biji tasbih’ sebagai alat berdzikir

Atsar yang paling terkenal adalah sebagaimana riwayat Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu ketika menjumpai kaum muslimin yang berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2005) [http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/02/berdzikir-dengan-%E2%80%9Ctasbih%E2%80%9D-bolehkah/]

Banyak atsar sahabat dan tabi’in lainnya yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Diantara atsar tersebut ialah:

– Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7657, dalam sanadnya terdapat jahalah (orang yang tidak diketahui)]

– Atsar Abdullah bin Mas’ud lainnya, dari Ibrahim berkata:

كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ حَسَنَاتِهِ

Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan Allah?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7667 dengan sanad yang shahih]

– Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata: Ibnu Mas’ud melihat seorang wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau memotong tasbihnya dan membuangnya. Beliau juga melewati seorang laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian memukulnya dengan kakinya dan berkata,”Kamu telah mendahului (Rasulullah) dengan melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthub dalam kitab Al Bida’ wa An Nahyu ‘Anha, hlm. 12 dengan sanad yang shahih, tetapi ada inqitha’, karena Ash Shalat tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud]

– Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata,”Kamu telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para sahabat Nabi.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al Bida’ Wa An Nahyu ‘Anha, hlm. 11 dengan sanad yang shahih. Juga ada inqitha’, karena Sayyar tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud]

– Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. [Riwayat selengkapnya, lihat Sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits no. 206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam As Silsilah Ash Shahihah, hadits no. 2005]

c. Sisi pendalilan yang lain

1)Sejarah ‘biji tasbih’

ilmusunnah.com

Syaikh Bakr Abu Zaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157, ringkasannya sebagai berikut:

Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.

Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.

Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.

Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras [Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli 1991), Cet. Kelima, hlm. 20]. Sehingga, sampai sekarang hampir semua kelompok-kelompok thariqat dan pengikut tasawuf menjadikan alat tasbih ini sebagai bagian dari ibadah mereka. Bahkan, tidak jarang pula mengalungkan tasbih di leher, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Hindu, Budha dan Pendeta Kristen; menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk mengobati orang sakit atau hajat lainnya dengan membasuhnya dan meminum airnya, na’uzubillah. Dapat dipastikan, bahwa kelompok-kelompok yang menjadikan thariqat atau tasawuf sebagai landasan manhajnya, akan menjadikan alat tasbih ini sebagai syiar ibadah mereka. (http://almanhaj.or.id/content/1764/slash/0/sejarah-tasbih-dan-hukumnya/)

2). Mafsadat

Beberapa perkara yang terjadi pada orang yang menggunakan biji tasbih, di antaranya:

  • Penggunaan biji tasbih akan mengabaikan sunnah Rosul Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang lebih mulia dan akhirnya terjatuh kepada larangan Alloh yang ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana dalam firman-Nya:

…. Apakah engkau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?…. (QS. al-Baqoroh [2]: 61)

  • Menggunakan biji tasbih membuat pelakunya lalai dengan apa yang ia ucapkan, dan kita bisa menyaksikan banyak di antara mereka yang menggunakan biji tasbih sedangkan matanya ke sana kemari, karena mereka sudah tahu benar jumlah dzikirnya sesuai dengan jumlah biji tasbih. Berbeda dengan orang yang berdzikir dengan jari-jarinya, dia lebih khusyuk, tidak lalai, dan berusaha mengetahui hitungan dzikirnya dengan jari-jarinya(15).
  • Menggunakan biji tasbih sangat dikhawatirkan menimbulkan riya‘ (niat ingin dilihat) dan sum’ah (niat ingin didengar) di dalamnya. Kita jumpai banyak di antara mereka mengalungkan biji tasbih yang sangat panjang dan besar, seakan-akan jiwanya berkata kepada kepada manusia: “Lihat wahai manusia, aku selalu berdzikir sebanyak jumlah biji tasbih ini(16).”
  • Menggunakan biji tasbih adalah ciri khusus ibadahnya orang Buddha dan Hindu, apabila kita melakukannya maka kita terjatuh pada pelanggaran terhadap larangan menyerupai mereka, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

            “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4347)

 

Catatan dan Simpulan

1Kespakatan seluruh ‘Ulama tentang lebih afdhol-nya dzikir memakai jari tangan. Adapun yang menyunahkan (menganggap mustahab), maka hal tersebut keliru Karena tidak ada dalil khusus yang mengindikasikan hal tersebut. Bukankah Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam menyarankan umatnya agar berdzikir dengan jari? (http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/09/tasbih-bidahkah/)

2. Dengan adanya kritikan terhadap dalil-dalil di atas maka wajarlah jika para ‘Ulama yang melarang pemakaian biji tasbih sebagai alat berdzikir berpendapat bahwa tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Bahkan Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam (Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 43-45) [http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/02/berdzikir-dengan-%E2%80%9Ctasbih%E2%80%9D-bolehkah/]

3. Fatwa-fatwa terkait kebolehan menggunakan tasbih selalu diiringi dengan beberapa peringatan. Ibnu Taimiyah mengatakan setelah membolehkan tasbih:

Adapun Tasbih yang dibentuk seperti manik-marik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misanya digantungkan dileher atau dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya. Yang pertama (riya, red) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesunggunhya riya kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti sholat, puasa, zikir, dan membaca qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar.

Allah berfirman:

 فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5) orang-orang yang berbuat riya (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (7) [Qs al Mâûn: 4-7]

Allah juga berfirman:

 إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan merekaDan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (Qs Ali Imrân: 142]) [Majmu Fatâwa 22/506] {http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/09/tasbih-bidahkah/}

Syaikh Shalih al Fauzan mengatakan,

“…Dibolehkan menggunakan biji tasbih untuk menghitung bacaan-bacaan dzikir dan tasbih asal tanpa ada keyakinan bahwa biji tasbih itu mengandung keutamaan khusus. Namun menggunakan biji tasbih itu dimakruhkan oleh sebagian ulama.

Jika diiringi keyakinan bahwa biji tasbih itu memiliki keutamaan khusus maka menggunakannya hukumnya adalah bid’ah semisal biji tasbih yang dipakai oleh orang-orang sufi. Mereka jadikan biji tasbih sebagai kalung di leher mereka atau menjadikannya sebagai gelang di tangan. Perbuatan semacam ini disamping bid’ah adalah riya dan memaksakan diri” [al Mulakhkhos al Fiqhi juz 1 hal 159 terbitan Dar al ‘Ashimah Riyadh, cet pertama 1421 H]. {http://ustadzaris.com/biji-tasbih-bukan-bidah}

Senada dengan peringatan diatas juga difatwakan oleh Faqihuzzaman Ibnu utsaimin dan Ibnu Bâz rohimahumulloh (http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/09/tasbih-bidahkah/). Perkataan mereka juga bisa dilihat di: http://www.ustadzfarid.com/2011/12/menghitung-dzikir-dengan-biji-tasbih.html

4. Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogianya dijadikan pegangan yaitu:

يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ

“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”

Puncak yang dicapai dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. (http://asysyariah.com/perselisihan-dan-adabnya.html)

Merupakan suatu bentuk keluar dari khilaf  (wallohu a’lam) pada permasalahan ini untuk selalu menggunakan jari tangan untuk berdzikir, karena di samping hal tersebut telah tetap dari Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam (dalilnya shohih), telah menjadi kesepakatan para ‘ulama (baik yang melarang maupun membolehkan pemakaian biji tasbih), bahwa sebaik-baik cara berdzikir adalah menggunakan jari tangan.

5. Sekali lagi saya tuliskan bahwa hadits yang didhaifkan oleh para ‘ulama yang melarang penggunaan biji tasbih adalah hadits yang dihasankan oleh para ‘ulama muhadditsin juga, dari ‘ulama terdahulu sampai sekarang (lihat pembahasan hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dan Shafiyah binti Huyai, sebagaiman pembahasan di awal). Oleh karena itu, sangat wajar jika khilafiyah seperti ini dianggap mu’tabar/ijtihadiyah. Sepantasnya sesama muslim bersikap toleran dan tidak bersikap kasar dalam permasalahn ini.

Yang terpenting untuk disadari adalah vonis bid’ah terkait penggunaan biji tasbih untuk berdzikir adalah suatu hal yang diperselisihkan oleh ulama ahli sunnah. Jika anda memiliki pendapat yang membid’ahkannya maka itu tidaklah mengapa namun pendapat tersebut janganlah anda paksakan kepada orang lain yang tidak setuju dengan pendapat anda. (http://ustadzaris.com/biji-tasbih-bukan-bidah-2, bagian komentar)

Adapun penyusun artikel ini (Abu Muhammad – yang masih sangat awam dan minim ilmunya ini) cenderung kepada pendapat yang melarang penggunaan biji tasbih untuk berdzikir. Semoga Alloh ‘Azza wa jalla memberikan kemampuan kepada penulis untuk selalu mengamalkan sunnah penggunaan jari tangan kanan sebagai alat berdzikir sampai akhir hayat.

6. Sekali lagi juga saya tegaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan kepada kita tentang keutamaan berdzikir dengan menggunakan jari-jari tangan kanan kita, yakni bahwasanya jari-jari tangan kanan kita tersebut akan ditanya dan berbicara serta menjadi saksi kebaikan bagi kita sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat di atas. Tentu ini merupakan sebuah keutamaan yang sangat besar.

Dan tidak ada sebaik-sebaik petunjuk yang menerangkan kepada kita tentang tatacara beribadah melainkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, termasuk dalam perkara menghitung bilangan dzikir ini. Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan contoh kepada kita menghitung bilangan dzikir dengan jari-jari tangan kanan saja, maka hendaknya kita tidak mencari-cari cara lain selain apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah bagi kita mengamalkan amalan yang jelas dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam bersabda,

وخيرالهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم

“Dan sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alahi wasallam” (HR. Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 2118), An-Nasa`i (III/104-105) dan lainnya dari riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih dan memiliki beberapa syawahid dari beberapa orang sahabat lainnya) (http://catatanaqilazizi.wordpress.com/2011/04/14/tasyabbuh-pada-penggunaan-biji-bijian-tasbih/)

Alloh yang Maha Mengetahui berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)

Oleh sebab itu, orang yang bersemangat terhadap kebenaran tidak akan menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghitung dzikir dengan jari tangannya dan tidak akan menggantinya dengan hal-hal yang diperselisihkan, yaitu menghitung dzikir dengan tasbih atau alat penghitung lainnya.

Alangkah indah pesan Imam Asy Syafi’i rahimahullah ,”Kami akan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam melakukan suatu ibadah atau dalam meninggalkannya.” (As Sunnah, Edisi 08/Tahun VII/1424 H hlm. 31-32) [http://almanhaj.or.id/content/1764/slash/0/sejarah-tasbih-dan-hukumnya/]

 

Tambahan Faedah: Berdzikir dengan Jari Tangan Kanan

Setelah mengetahui keutamaan dzikir dengan jemari di atas, maka tidak lengkap rasanya jika tidak membahas, kaifiyah / teknis masalah ini.

Apakah dzikir dengan kedua tangan atau tangan kanan saja? Hal ini pun diperselisihkan oleh para ulama.

Pendapat pertama mengatakan bahwa berdzikir boleh menggunakan kedua tangannya baik kiri atau kanan. Dalilnya adalah keumuman hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan “tangannya”, dan tangan mencakup tangan kanan dan kiri, sebagaimana dalam sebuah hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ  يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَدِهِ

Dari Abdulloh bin Amr bin Ash Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangannya.” (HR. at-Tirmidzi: 3486)

Adapun lafazh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya, maka hadits ini tergolong hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih shohih yaitu riwayat yang umum mencakup semua tangan. (Lihat kitab La Jadida Fi Ahkamish Sholat: 52-64 oleh Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid dalam)

Pendapat kedua mengatakan bahwa berdzikir hanya dengan tangan kanan saja lebih afdhol. Dalilnya, ada sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya saja, sebagaimana hadits berikut;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ  يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

Dari Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani (14)dalam Sislsilah Dho’ifah: 1002)

(Lihat perkataan Ibnul Jazari dalam Syarah Ibnu Allan Lil Adzkar: 1/255, Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyyah hlm. 320, al-Albani dalam kitabnya Silsilah Dho’ifah: 3/47, demikian juga keputusan fatwa Lajnah Da‘imah KSA dalam fatwa no. 11829 tgl. 23 Romadhon 1422 H)

Pendapat yang Kuat

Pendapat yang kuat insya Alloh adalah pendapat yang kedua yaitu berdzikir hanya dengan tangan kanan saja tidak selayaknya dengan tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: “Sungguh telah sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”

Pendapat ini sejalan dengan hadits lain yang muttafaq ’alaihi tentang menggunakan anggota badan yang kanan dalam perkara yang terpuji, di antaranya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ  يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِ هِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)

Adapun perkataan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanan saja termasuk hadits syadz (ganjil/janggal), maka pendapat ini tidak benar karena keduanya tidak bertentangan, justru satu dengan yang lain saling melengkapi dan menjelaskan yang masih umum/global. (http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/02/berdzikir-dengan-%E2%80%9Ctasbih%E2%80%9D-bolehkah/)

Yang jelas, menghitung tasbih dengan tangan kanan lebih utama daripada menggunakan kedua tangan, sebagaimana perkataan Syaikh Bin Baz dan Syaikh Masyhur Hasan Salman (al-Qaulul Mubiin) yang dapat dibaca di: http://yufidia.com/dzikir-setelah-shalat-2

Praktik secara lebih rinci dapat menggunakan cara berikut ini

Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid Nabawi, ketika membahas cara RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung tasbih tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan kanan dan menyatakan: Setiap jari tangan kita memiliki tiga ruas. Apabila setiap ruas mendapatkan satu tasbih, tahmid dan takbir, kemudian dikalikan lima, maka akan berjumlah lima belas dan diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah dengan satu jari hingga berjumlah tiga puluh tiga kali. Dan ini, selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.

“Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha”. [HR Bukhari dan Muslim].

Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas jari. Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar, beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ.

“Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya”. (HR Abu Dawud, Bab tasbih bil hasha, no. 1502) [http://almanhaj.or.id/content/1764/slash/0/sejarah-tasbih-dan-hukumnya/]

 

Bersambung ke: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (6) [Apa Salahnya Berdoa dengan Mengangkat Tangan?-1]

2 comments on “Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (5) [Masalah Biji Tasbih – 2]

Leave a comment