Gallery

Hukum-hukum Seputar Puasa Sunnah (2) [Apakah Puasa Hari Jumat Terlarang?]

Artikel sebelumnya di: Hukum-hukum Seputar Puasa Sunnah (1) [Niat Puasa Sunnah]

 

pics4world.com

pics4world.com

Pembahasan ini masih melanjutkan hukum-hukum seputar puasa sunnah. Artikel ini akan mengulas tentang larangan mengkhususkan puasa sunnah pada hari jumat. Semoga bermanfaat.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang terlarang adalah berpuasa sunnah pada hari Jum’at secara khusus. Namun jika ada sebab seperti bertepatan dengan hari Asyura atau hari Arafah, maka tidaklah terlarang.

Dalam hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

‘Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Bukhari no. 1849 dan Muslim no. 1929).

Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz As Syitsri hafidzahullah ketika menjelaskan hadits ini:

“Diantara faedah yang terkandung dalam hadits ini adalah larangan puasa pada hari jum’at, dan dzahir larangan menunjukkan haram dan rusak, sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Hadits ini mengkhususkan hadits sebelumnya yaitu bahwa maksud larangan puasa pada hari jum’at adalah puasa pada hari jum’at saja, tanpa puasa pada satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya. Hadits ini menunjukkan akan bolehnya puasa sunnah dua hari, yaitu kamis dan jum’at. Hal tersebut tidak masalah karena puasa pada hari jum’at dan satu hari sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bolehnya puasa pada hari jum’at dan sabtu karena berarti puasa pada hari jum’at dan satu hari sesudahnya. Hadits ini juga dalil atas tidak benarnya orang yang berpendapat : bahwa puasa sunnah pada hari sabtu tidak boleh, meskipun disertai dengan puasa satu hari sebelumnya dan satu hari sesudahnya. Karena dalam hadits ini terdapat petunjuk untuk berpuasa pada hari jum’at dan sabtu. Maka hal ini menunjukkan akan disyariatkannya hal tersebut (Syarah Umdatul Ahkam Syaikh Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz As Syitsri hafidzahullah, hal. : 428)

Hadits-hadits lainnya yaitu:

 عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ، سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَهُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ أَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ ؟، فَقَالَ: ” نَعَمْ وَرَبِّ هَذَا الْبَيْتِ “

Dari Muhammad bin ‘Abbaad bin Ja’far : Aku pernah bertanya kepada Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa yang ketika itu ia sedang thawaf di Ka’bah : ‘Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa di hari Jum’at ?”. Ia menjawab : “Benar, demi Rabb Ka’bah ini” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1143].

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat malam tertentu yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya. Janganlah pula mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa tertentu yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya kecuali jika ada puasa yang dilakukan karena sebab ketika itu.” (HR. Muslim no. 1144).

Dari Juwairiyah binti Al Harits radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ لا قَالَ فَأَفْطِرِي وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ الْجَعْدِ سَمِعَ قَتَادَةَ حَدَّثَنِي أَبُو أَيُّوبَ أَنَّ جُوَيْرِيَةَ حَدَّثَتْهُ فَأَمَرَهَا فَأَفْطَرَتْ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya pada hari Jum’at dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawabnya. “Apakah engkau ingin berpuasa besok?”, tanya beliau lagi. “Tidak”, jawabnya lagi. “Batalkanlah puasamu”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hammad bin Al Ja’d, ia mendengar Qotadah, Abu Ayyub mengatakan padanya bahwa Juwairiyah berkata bahwa ia membatalkan puasanya ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan. (HR. Bukhari no. 1986)

Berkata Imam Ibnu Hazm Rohimahulloh :” Kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat antara para shohabat tentang larangan ini dan jumhur ulama’ mengatakan bahwa larangan ini adalah larangan yang tegas.” ( Fathul Bari : 4/276 )

Ibnu Qudamah mengatakan, “Dimakruhkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at saja kecuali jika bertepatan dengan kebiasaan berpuasa. Seperti berpuasa Daud, yaitu sehari berpuasa sehari tidak, lalu bertepatan dengan hari Jum’at atau bertepatan dengan kebiasaan puasa di awal, akhir, atau pertengahan bulan.” (Lihat Al Mughni, 3: 53)

Imam Nawawi mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 479)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata dalam Syarhul Mumthi’ (6: 465), “Dikecualikan dari larangan ini adalah jika berpuasa sebelum atau sesudah Jum’at, atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa pada ayyamul bidh, atau bertepatan dengan puasa Arafah, atau karena puasa nadzar.”

Begitu pula dibolehkan puasa pada hari Jum’at jika bertepatan dengan puasa Arafah dan puasa Asyura, karena ketika itu niatannya adalah puasa Asyura dan Arofah, bukan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Demikian kata Syaikh Sholih Al Munajjid dalam fatawanya no. 20049.

Adapun hikmahnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin Rohimahulloh:

”Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum’at dengan puasa adalah bahwa hari Jum’at merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyariatkan ; karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul Adha dan Hari raya mingguan yakni hari Jum’at. Oleh sebab itu hari ini terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum’at adalah hari yang sepatutnya seseorang lelaki mendahulukan shalat Jum’at, menyibukkan diri berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama’ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia disibukkan dengan do’a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa ketika saling berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan ibadah yang tak bisa ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda…

Sedangkan soal seorang penanya, “Apakah larangan ini khusus untuk puasa nafilah (sunah) atau juga puasa Qadha (pengganti hutang puasa) ? Sesungguhnya dhahir dalilnya umum, bahwa dibenci hukumnya mengkhususkan puasa sama saja apakah untuk puasa wajib (qadla) atau puasa sunnah, -Ya Allah-, kecuali kalau orang yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya sehingga dia bisa membayar hutang puasanya kecuali pada hari Jum’at, ketika itu dia tidak lagi makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa ; karena dia memerlukan hal itu. ” (Majmu Fatawa Arkanul Islam edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – diringkas)

Hal ini senada dengan perkataan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah:

“Larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dimaksudkan karena sebagian orang menyangka ada keutamaan disunnahkannya puasa pada hari tersebut. Dijelaskan di sini bahwa puasa pada hari Jum’at itu dilarang. Sebagaimana berpuasa pada hari ‘ied juga juga terlarang dan hari Jum’at juga adalah hari ‘ied pekanan. Adapun perintah agar tidak puasa ketika itu adalah supaya kita kuat menjalani ibadah saat itu dan ada berbagai hikmah lainnya. Sebab larangan (‘illah) ini jadi hilang jika hari Jum’at tidak dikhususkan untuk puasa seperti dengan menambah puasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Atau dibolehkan juga jika berpapasan dengan kebiasaan puasa seperti bagi orang yang sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa (puasa Daud) atau bertepatan dengan puasa ayamul bidh (13, 14, 15 Hijriyah) dan semacamnya.” (Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 366).

Terdapat juga pendapat Maalik dan Abu Haniifah yang menyatakan bahwa tidak mengapa berpuasa hari Jum’at secara mutlak. Pendapat ini lemah! Berikut pendalilan yang mereka gunakan.

Pendapat Maalik bin Anas rahimahullah didasari pengetahuannya bahwa para ulama yang ia temui tidak memakruhkannya, sedangkan pendapat Abu Haniifah (dan kalangan Hanafiyyah) didasari hadits :

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ مِنْ غُرَّةِ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَقَلَّمَا كَانَ يُفْطِرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ “.

Dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa tiga hari setiap awal bulan, dan beliau jarang berbuka di hari Jum’at” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 742; hasan].

Pendapat Maalik disanggah oleh An-Nawawiy rahimahumallaah sebagai berikut :

“Maka ini ini adalah perkataannya sesuai dengan apa yang dilihatnya. Sungguh selain dirinya telah melihat hal lain yang berselisihan dengan apa yang dilihatnya, dan As-Sunnah mesti dikedepankan dibandingkan pendapatnya atau selainnya. Telah shahih adanya larangan berpuasa di hari Jum’at, sehingga pendapat ini mesti dijadikan pegangan. Maalik diberikan ‘udzur karena belum sampai kepadanya hadits pelarangan tersebut. Telah berkata Ad-Daawuudiy yang termasuk di antara shahabat-shahabat Maalik : ‘Hadits ini belum sampai kepada Maalik. Seandainya telah sampai kepadanya, niscaya ia tidak akan menyelisihinya” [Syarh Shahiih Muslim, 4/134].

Adapun hadits Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu yang dibawakan kalangan Hanafiyyah, dijawab :

“Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : ‘Hadits itu shahih, dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits sebelumnya, karena ia dibawa pada pengertian bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyambungnya dengan puasa di hari Kamis, wallaahu a’lam” [At-Talkhiishul-Habiir, 2/468].

Kesimpulan: Puasa hari Jum’at adalah terlarang jika dimaksudkan mengkhususkannya. Larangan tersebut bermakna haram sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm rahimahumallah sesuai dhahir hadits. Larangan tersebut dikecualikan apabila puasanya merupakan bagian dari puasa-puasa yang biasa dilakukannya, atau ia menyambungkannya dengan hari sebelumnya (Kamis) atau setelahnya (Sabtu).

Wallaahu a’lam.

[http://ahimzafatih.blogspot.com/2012/11/seputar-hukum-puasa-sunnah-di-hari.html, http://abukarimah.wordpress.com/2012/12/12/larangan-puasa-hari-jumat/, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/larangan-puasa-pada-hari-jumat.html, http://almanhaj.or.id/content/1947/slash/0/larangan-pengkhususan-puasa-hari-jumat-hukum-puasa-asyura-dan-apa-puasa-wishal-itu/, dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/08/puasa-sunnah-di-hari-jumat.html%5D

 

Bersambung ke: Hukum-hukum Seputar Puasa Sunnah (3) [Polemik Puasa Hari Sabtu]

Leave a comment