Gallery

Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (3) [Bolehkah Dzikir Jama’i?-2]

Artikel sebelumnya di: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (2) [Bolehkah Dzikir Jama’i?-1]

 

antaranews.com

antaranews.com

3. Atsar para Sahabat

a. Dahulu Umar mengumandangkan takbir di kubahnya di mina. Mendengar takbir yang kumandangkannya, para jamaah di masjid pun ikut bertakbir, begitu pula mereka yang di pasar (luar), hingga bergemuruhlah mina dengan suara takbir. (Shohih Bukhori, Bab: At-Takbir Ayyama Mina)

b. Dahulu para jamaah perempuan, mengumandangkan takbirnya dibelakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz, yakni ketika malam-malam tasyriq bersama para jamaah laki-laki di masjid. (Shohih Bukhori, Bab: At-Takbir Ayyama Mina)

Bantahan:

a. Atsar Umar ini tidak tegas menunjukkan bolehnya dzikir jama’i seperti yang dilakukan orang-orang di era ini. Atsar itu hanya menunjukkan bahwa orang-orang pada waktu itu meniru apa yang dilakukan Umar, maka mereka pun bertakbir sebagaimana Umar bertakbir, yakni dengan suara yang tinggi. Dan karena terlalu banyaknya orang yang bertakbir saat itu, hingga bergemuruhlah mina dengan suara takbir.

Lajnah Da’imah mengatakan (fatwa no:20189): “Apa yang dilakukan Umar r.a. bukanlah dalil bolehnya takbir jama’i, itu hanya menunjukkan bahwa Umar r.a. bertakbir sendiri, lalu ketika orang-orang mendengar takbirnya, maka mereka pun ikut bertakbir, masing-masing dari mereka bertakbir sendiri-sendiri, atsar itu tidak menunjukkan bahwa mereka itu bertakbir dengan takbir jama’i. wabillahittaufiq.”

b. Umar tidak pernah melakukan takbir -seperti yang dilakukannya di mina saat haji- pada waktu lainnya. Seandainya takbir seperti itu boleh dilakukan kapan saja, tentunya akan beliau lakukan, atau dilakukan oleh sahabat lainnya, karena tidak ada satu generasi pun dari umat ini, yang lebih semangat dalam mengerjakan kebaikan melebihi para sahabat Nabi -rodhiallohu anhum-. Tapi nyatanya tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan hal seperti itu di waktu lainnya.

c. Atsar Kedua hanya menunjukkan bahwa para jamaah wanita pada waktu itu juga mengumandangkan takbir di masjid, sebagaimana dilakukan oleh para jamaah laki-laki. Itupun hanya dilakukan pada malam-malam tasyriq, yakni pada momen hari raya, bukan berarti boleh dilakukan kapan saja.

d. Pemakaian atsar di atas, sebagai dalil bolehnya dzikir jama’i adalah tidak pada tempatnya, karena atsar tersebut berkenaan dengan takbir jama’i, bukan dzikir jama’i. Jadi sebenarnya, atsar di atas tidak ada hubungannya sama sekali dengan dzikir jama’i yang banyak dipraktekkan oleh orang-orang di zaman ini. Sahabat Umar dan para ulama salaf yang sholeh, tidak pernah melakukan tahlilan bersama, atau yasinan bersama, atau istighotsahan, atau dzikir jama’i yang lainnya, padahal tentunya mereka lebih mampu melakukannya melebihi kita. Seandainya dzikir jama’i itu dianjurkan oleh Islam, tentunya merekalah orang yang pertama mengamalkannya. Sungguh tiada generasi yang lebih alim dan lebih giat dalam ketaatan melebihi para salafus sholih itu.

e. Ada banyak perbedaan antara syariat takbiran dengan dzikir, diantaranya:

  • Takbiran untuk hari ied sunnahnya dikeraskan, sedang dzikir secara umum sunnahnya dilirihkan.
  • Takbiran untuk hari ied disunnahkan pada hari-hari tertentu, sedang dzikir secara umum disunnahkan kapan saja, dan tidak ada batasan waktu.
  • Takbiran untuk hari ied, adalah salah satu syiar islam yang dianjurkan untuk ditampakkan seperti adzan, berbeda dengan dzikir secara umum dianjurkan untuk dilakukan secara lirih.

Dari perbedaan-perbedaan ini, kita tahu bahwa keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan tidak mungkin bisa dikiaskan. Jika ada yang mengatakan bahwa atsar di atas menunjukkan bolehnya takbiran jama’i ketika hari ied, itu bukan berarti atsar tersebut bisa dipakai untuk melegalkan dzikir jama’i, karena banyaknya perbedaan antara keduanya.Wallohu a’lam. (http://addariny.wordpress.com/2009/12/05/mengkritisi-dzikir-jamai-1-utk-dewasa/)

 

4. Fatwa Ulama

Menurut mereka fatwa-fatwa ulama ini membolehkan dzikir jama’i, antara lain:

a. Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), seorang ulama kenamaan dari Syria, berkata:

“Ketahuilah, sebagaimana zikir itu sunat hukumnya, begitu juga sunat hukumnya duduk dalam majlis orang-orang berzikir, kerana begitu banyak dalil-dalil yang menyatakan hal itu.” [Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Adzkar, (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t.th), hlm. 8. Lihat pula Ibn ‘Allan al-Shiddiqi, al-Futuhat al-Rabbaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1398 H/1978 M), Juz. 1, hlm. 89-90.]

b. Imam Sayid Sabiq (w. 1422 H), seorang ulama kenamaan dari Mesir, berkata:

“Disunatkan duduk dalam majlis zikir.” [Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 1400 H/980 M), jilid I, hlm. 492]

Sebelum berfatwa demikian, ia telah membuat judul dengan: (Sunat berkumpul di majlis zikir)

Bantahan:

Semua fatwa yang dibawakan di sini hanyalah berkaitan dengan anjuran berada di majelis al dzikri, bukan anjuran untuk mengadakan al dzikri al jama’i. Bedakanlah dua hal ini, karena membedakan dua hal ini sangat penting agar bisa bisa memahami dalil-dalil yang ada dalam masalah ini dengan baik dan tepat. (http://ustadzaris.com/sanggahan-untuk-amalan-dzikir-berjamaah)

 

5. Pendalilan lainnya, antara lain:

aDoa secara jamai lebih mustajab.

Jawaban:

1). Alasan ini juga ada ketika zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, meski begitu beliau tidak melakukannya. Jika hal itu memang boleh dilakukan, tentunya beliau akan lakukan doa bersama, minimal 5 kali sehari, setiap selesai sholat. Tapi mengapa hal tidak beliau lakukan?! Jawabannya adalah: Karena hal itu memang tidak disyariatkan oleh Islam. Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar dari Madzhab Hambali mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- setelah sholat jamaah, melakukan doa bersama dengan para ma’mumnya, baik ketika sholat shubuh, sholat ashar, maupun sholat-sholat yang lainnya. Akan tetapi yang ada nukilannya adalah ketika usai mengimami sholat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berdzikir, dan mengajarkan dzikir kepada mereka”. (Al-Fatawa Al-Kubro 2/205)

2). Mustajabnya doa sangat dipengaruhi oleh sesuainya doa tersebut dengan tuntunan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dalam sifat dan waktunya. Jika praktek doa jama’i itu menyelisihi tuntunan beliau, bagaimana doa itu akan mustajab?! Bagaimana Alloh mengabulkan doa hambanya, yang ketika berdoa ia bermaksiat kepada-Nya dengan bid’ah?! Jika ada bawahan yang meminta bantuan kepada bosnya saat ia melakukan pelanggaran, apa bosnya akan menuruti permintaannya?!… wa lillahil matsalul a’la…

b. Kebanyakan manusia tidak tahu bahasa arab, hingga kemungkinan besar mereka akan salah ucap ketika doa atau dzikir sendiri, padahal salah ucap adalah salah satu sebab tidak mustajabnya doa, dan kita tahu mereka akan terhindar dari kesalahan itu jika doa dan dzikirnya dilakukan secara berjamaah.

Jawaban:

1). Tidak termasuk syarat doa, harus tepat dalam pelafalannya, tapi yang menjadi syarat adalah ikhlas, kesungguhan dalam berharap, dan mengikuti petunjuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Bahkan dalam doa juga tidak ada syarat harus menggunakan bahasa arab, kita bisa berdoa dengan bahasa apa saja yang kita mampui, dan Alloh maha mengetahui dan memahami apa yang dikehendaki oleh hamba dalam doanya.

2). Lihatlah para sahabat dahulu, mereka telah menyebar ke berbagai negara setelah meluasnya pemerintahan Islam. Ketika itu, telah banyak terlihat ujmah dan lahn (salah dalam melafalkan kata), dikarenakan banyaknya non arab yang masuk Islam. Meski begitu, tidak ada seorang pun sahabat yang melakukan dzikir jamai ini. Apakah mereka lebih cerdas dari para sahabat dalam mencari jalan keluar permasalahan ini?! Apakah doa dan dzikir jamai satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini, hingga dijadikan sandaran bolehnya praktek itu?!

3). Taruhlah apa yang mereka sebutkan itu benar, yakni tepat dalam melafalkan menjadi syarat dikabulkannya doa dan dzikir, tapi bukankah hal itu juga terjadi ketika membaca Alquran, ketika sholat, dan ketika melakukan ibadah yang lainnya?! Apakah mereka akan mengatakan membaca Alqur’an sebaiknya selalu bersama-sama dengan satu suara agar tidak salah dalam melafalkannya?! Apakah mereka juga mengatakan dzikir dalam sholat sebaiknya diucapkan serentak dengan suara lantang agar tidak salah dalam mengucapkannya?! Bukankah ada cara yang sesuai syariat, misalnya dengan mengajari mereka dalam kesempatan lain, tanpa menciptakan bid’ah baru dalam agama ini?!

4). Jika kekhawatiran salah ucap ketika berdzikir itu bisa diterima, maka harusnya mereka tidak lakukan dzikir jama’i itu di pondok-pondok, madrasah-madrasah dan perkumpulan orang agamis lainnya. Tapi kenyataannya mereka tetap melakukan dzikir jama’i itu di segala tempat dan kondisi… Ini menunjukkan bahwa alasan di atas bukanlah alasan sebenarnya, tapi mereka punya keyakinan bahwa dzikir jama’i itu lebih utama dari pada dzikir sendiri… Sungguh yang benar adalah sebaliknya, dzikir sendiri jauh lebih utama dari dzikir jama’i, karena dengan dzikir sendiri kita bisa lebih tenang, khusyu’, dan ikhlas dalam menjalaninya hanya karena Alloh semata… Bahkan kita dilarang melakukan dzikir jama’i ini, karena tidak adanya tuntunan dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya… Ingatlah selalu Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ini: “Ambillah tuntunanku dan juga tuntunan para khulafa’ur rosyidin setelahku! Gigitlah tuntunan itu dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan jauhilah hal-hal baru (dalam agama)! Karena setiap yang demikian itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka!”

5). Ajaran Islam adalah ajaran yang mudah, Islam tidak menyuruh umatnya menghapal seluruh dzikir yang dituntunkan oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Di sana juga ada dzikir yang panjang, dan ada yang pendek… Bagi yang mudah menghapal, ia bisa menghapal dzikir yang ia kehendaki, bagi yang sulit menghapal, ia bisa memilih dzikir yang pendek untuk dihapal, seperti: subhanalloh… alhamdulillah… la ilaha illalloh… Allohu akbar… dan banyak dzikir yang lainnya, kemudian mengulang-ulangnya kapan pun dan selama apapun ia kehendaki… Bukankah ini lebih bebas dan lebih mudah?!… Mengapa kita persulit diri dengan menentukan waktu, tempat, bacaan dll, hingga hal yang asalnya ringan dan sesuai syariat menjadi berat dan menyelisihi syariat?!

c. Dzikir dengan bentuk seperti ini hanyalah sebuah wasilah, sedang tujuannya adalah beribadah kepada Alloh, padahal ada kaidah mengatakan: “Hukum sebuah wasilah (sarana/perantara), itu seperti hukum tujuannya” dan karena tujuannya adalah ibadah, dan ibadah itu dianjurkan, maka dzikir jama’i juga menjadi sesuatu yang dianjurkan.

Jawaban:

Kaidah di atas bisa dibenarkan bila wasilahnya dibolehkan oleh syariat, misalnya: Membeli air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, atau bekerja untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau tidur untuk mengembalikan kekuatan untuk ibadah… dll. Maka kaidah itu bisa diterapkan dalam masalah ini, sehingga membeli air, menafkahi keluarga, dan tidurnya menjadi amal ibadah…

Tapi kaidah itu tidak bisa diterapkan dalam wasilah yang diharamkan, misalnya: Mencuri air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, merampok untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau mengonsumsi narkotik agar ibadahnya tenang… dll. Apakah hukum wasilah di sini akan berubah?! Tentunya tidak. Tetap saja mencuri, merampok, dan mengonsumsi narkotik diharamkan, meski tujuannya mulia…

Begitu pula dalam masalah ini, tujuan yang mulia (seperti ibadah dzikir), tidak bisa merubah hukum wasilah yang diharamkan (seperti bid’ah dzikir jama’i). Hal ini telah lama dilarang oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Lihatlah kisah tiga orang sahabat yang datang ke kediaman Rosul -shollallohu alaihi wasallam-! Ketika mereka merasa kecil hati karena mendengar kisah ibadahnya beliau, diantara mereka ada yang ingin sholat semalam suntuk, ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah seumur hidup… Tujuan mereka sungguh sangat mulia, yakni ingin fokus dan membanyak ibadah, subhanalloh… Tapi Rosul -shollallohu alaihi wasallam- melarang mereka melakukannya, mengapa?! Karena itu tidak sesuai dengan tuntunan Beliau. Renungkan sabda beliau ketika mengingkari mereka: “Maka barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku”… Lihatlah… Tujuan yang mulia tidak otomatis menjadikan wasilahnya baik… Tapi tujuan yang baik, harusnya diraih dengan wasilah yang baik pula… (http://addariny.wordpress.com/2009/12/08/mengkritisi-dzikir-jamai-2-utk-dewasa/)

 

Keburukan Dzikir Berjamaah

Jika benar ada maslahat dalam dzikir jama’i, tapi di sana ada mafsadah yang lebih banyak dan lebih besar dari pada maslahat yang ada, padahal kita semua tahu kaidah yang mengatakan bahwa: “Menghindari mafsadah itu lebih didahulukan, dari pada mendatangkan maslahat”… Diantara banyak mafsadah itu adalah:

a. Menyelisihi petunjuk Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya, dan tidak diragukan bahwa setiap yang demikian itu termasuk bid’ah yang sesat. Seandainya itu kebaikan, tentunya telah dilakukan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, lalu dicontoh oleh para sahabat, dan tentunya banyak nukilan dari mereka tentang dzikir jama’i ini. Tapi karena tidak ada satu pun nukilan dari mereka, itu menunjukkan bahwa mereka tidak pernah melakukannya, dan jika mereka tidak pernah melakukannya padahal mereka mampu, itu berarti menunjukkan bahwa hal itu bukan merupakan syariat islam. Dan setiap yang tidak masyru’ pada saat itu, maka sekarang pun hal itu tidak disyariatkan.

b. Menyebabkan amalan seorang hamba tertolak. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka amalan itu tertolak”. Lihatlah bagaimana pintarnya setan menggoda manusia, orang yang suka syahwat digoda dengan maksiat agar dosanya semakin menggunung. Adapun orang yang suka ibadah, setan menggodanya dengan bid’ah (seperti dzikir jama’i) agar amalannya tertolak dan tak menghasilkan pahala, atau bahkan malah menuai dosa.

c. Jika tempatnya di masjid, akan mengganggu para jamaah lain yang sedang sholat, dan membaca Alqur’an. padahal beliau telah bersabda: “Ingatlah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya atas sebagian yang lain”. (HR. Abu Dawud: 1135, dishohihkan oleh Albani).

d. Kadang terjadi pemotongan ayat dan dzikir yang tidak pada tempatnya, hingga bisa merusak maknanya.

e. Dzikir jamai menyebabkan banyaknya bermunculan dzikir-dzikir bid’ah lainnya. Padahal kita tahu bahwa: “Setiap ada bid’ah yang hidup, berarti ada sunnah yang mati”. Jika semakin banyak bid’ah tumbuh, berarti semakin banyak sunnah yang mati. Sungguh ini merupakan mafsadah yang sangat besar sekali.

f. Menjadikan orang malas berdzikir dan berdoa apabila tidak ada orang yang menuntunnya. Padahal sebenarnya kita diperintah untuk berdzikir dan berdoa kapan saja, dan dimana saja, tentunya dengan adab-adab yang mulia. (http://addariny.wordpress.com/2009/12/08/mengkritisi-dzikir-jamai-2-utk-dewasa/)

Baca juga bantahan bahwa dzikir jama’i merupakan bentuk ta’awun (menurut mereka) di: http://addariny.wordpress.com/2009/12/08/mengkritisi-dzikir-jamai-2-utk-dewasa/ dan dzikir jama’i dipraktekkan kaum muslimin serta terdapat pertentangan atsar sahabat (menurut mereka) di: http://addariny.wordpress.com/2009/12/17/mengkritisi-dzikir-jamai-3-utk-dewasa/

Jika masih berat untuk menerimanya, maka mari kita berpikir. Bukankah kita semua sepakat bahwa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- tauladan terbaik umat ini?! Bahkan Alloh berfirman: “Sungguh pada Rosululloh ada suri tauladan yang baik bagi kalian” (Al-Ahzab: 21).

Pertanyaannya: Pernahkah beliau mencontohkan kepada kita pelaksanaan dzikir jama’i ini?! Pernahkah beliau melakukan tahlilan, yasinan, nariyahan, istighotsahan dll sebagaimana banyak dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini?! Bukankah Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menuntunkan kepada kita untuk tidak melakukannya?! Mengapa kita tidak meniru beliau untuk tidak melakukannya?! Apakah kita lebih tahu tentang kebaikan melebihi beliau?! Wahai saudaraku seiman, jawablah dari lubuk hatimu yang paling dalam…

Wahai para pecinta Sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali -rodhiyallohu anhum-… Wahai para pecinta Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal -rohimahumulloh-… Pernahkah mereka memberi contoh kepada kita, amalan dzikir jama’i ini?! Kepada siapa kita berkiblat dalam mengamalkan ajaran Islam ini?! Apakah kita lebih giat dalam kebaikan melebihi mereka?! Bukankah salah seorang diantara mereka telah mengatakan bahwa: “Setiap bid’ah itu sesat, meski orang-orang menganggapnya baik”?! Sungguh tidak adanya contoh dari para generasi salafus sholih dalam masalah dzikir jama’i ini, merupakan bukti bahwa amalan tersebut bukanlah dari Islam, apalagi sampai dianjurkan oleh Islam, wallohu a’lam…  (http://addariny.wordpress.com/2009/12/05/mengkritisi-dzikir-jamai-1-utk-dewasa/)

 

Bersambung ke: Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (4) [Masalah Biji Tasbih – 1]

4 comments on “Koreksi Kesalahan Seputar Dzikir Setelah Sholat (3) [Bolehkah Dzikir Jama’i?-2]

  1. Assalaamu alaikum..

    Semoga berkenan, ane mau menanya nih..
    Berkenaan dengan bid’ah..apakah membaca alqur’an juga merupakan bid’ah?
    Mengingat pembukuan al Qur’an dilakukan setelah Rasul SAW meninggal ?
    Dan tidak di syariatkan juga kan oleh Rasul?
    Mohon maaf dan terima kasih ..

    • Tidak, kodifikasi dalam arti sempit berarti penulisan dalam shohifah2, dan ini sudah dilakukan semenjak zaman para sahabat, sebelum kodifikasi hadits
      Yang seperti ini termasuk Mashalih Mursalah. Al-Wasail Hukmul Laha Al-Maqoshid. Kalo tidak ada kodifikasi dan pen-‘syakal’-an. Kita tidak akan bisa membaca Al-Qur’an

  2. Berlaku pula bagi jamaah sholat apabila imam tidak mengajak dzikir bersama cenderung para jamaah segera pulang, Tetapi dengan diadakannya dzikir bersama sangat berguna melatih istiqomah para jamaah. Demikian pula Tadarrus al-quran bersama melatih istiqomah.

    • Kita beragama berdasarkan dalil, bukan berdasarkan apa yang kita anggap baik. Sependek pengetahuan saya, saya tidak mengetahui ada dalil yang mensyariatkan dzikir bersama 1 komando. Fatwa para ulama pun menyatakan hal tersebut bid’ah

Leave a comment