Gallery

Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (2) [Bolehkah Mencukur Jenggot-2]

Artikel sebelumnya di: Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (1) [Bolehkah Mencukur Jenggot-1]

 

aslibumiayu.wordpress.com

aslibumiayu.wordpress.com

Fatwa para ‘Ulama tentang haramnya mencukur Jenggot

a. Madzhab Hanafi

“Diharamkan bagi pria memotong jenggotnya”. (ad-Durruh Mukhtar 6/407)

“Tidak boleh baginya memangkas jenggotnya, karena itu termasuk mutslah. (al-Bahrur Ro’iq 2/372)

b. Madzhab Maliki

“Maka tidak boleh mencukur jenggot, tidak boleh mencabutinya, dan tidak boleh pula memangkas sebagian besarnya.”  (al-Mufhim, karya Imam al-Qurthubi 1/512)

“Diharamkan bagi pria mencukur jenggotnya.” (Minahul Jalil 1/82)

c. Madzhab Syafi’i

Imam Syafi’i –rohimahulloh- juga mengatakan: “Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka hukumannya adalah hukumah. (al-Umm 7/203)

Abu Syamah –rohimahulloh- mengatakan: “Telah datang sekelompok kaum yang menggunduli jenggotnya, perbuatan mereka itu lebih parah dari apa yang dinukil dari kaum Majusi, bahwa mereka dulu memendekkannya.” (Fathul Bari 13/411)

d. Madzhab Hambali

(Termasuk Sunnah Nabi dalam rambut) adalah dengan membiarkan jenggot panjang… dan haram baginya menggundul jenggotnya. (al-Inshof 1/121)

Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab (Hambali) adalah haramnya menggundul jenggot. (Ghidza’ul Albab 1/334)

Itulah ucapan para ulama dari empat madzhab tentang wajibnya memelihara jenggot. (http://addariny.wordpress.com/2010/01/12/jenggot-haruskah-2/)

Lihat selengkapnya di situs tersebut.

e. Ulama masa kini

Baca juga fatwa ulama masa kini tentang haramnya mencukur jenggot

1). Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i di: http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-memotong-jenggot/

2). Para ‘ulama yang tergabung dalam Lajah Da’imah di: http://www.salafy.or.id/dalil-dalil-dan-hukum-mencukur-jenggotlihyah-bagi-laki-laki/ dan http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/2763-menjawab-sedikit-kerancuan-seputar-jenggot.html

3). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di: http://almanhaj.or.id/content/984/slash/0/hukum-memelihara-jenggot/,

4). Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-Syaikh, beliau berfatwa bahwa orang yang memotong jenggot tidak layak menjadi imam sholat (http://almakassari.com/imam-yang-merokok-dan-memotong-jenggot.html)

5). Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu di: http://aliph.wordpress.com/2007/04/12/memelihara-jenggot-adalah-wajib/

Begitulah, para ‘ulama sejak zaman dahulu telah ijma’ akan haramnya mencukur jenggot dan wajib memeliharnya, seperi yang dikatakan oleh:

1). Ibnu Hazm: “Para ulama telah sepakat, bahwa sesungguhnya menggundul jenggot termasuk tindakan mutslah, itu tidak diperbolehkan. (Marotibul Ijma’ 157)

2). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Menggundul jenggot itu diharamkan, karena adanya hadits-hadits shohih (tentang itu), dan tidak ada seorang pun (dari para ‘ulama -ed) yang membolehkannya”. (Ushulul Ahkam 1/37, Ikhtiyarot Syaikhil Islam Ibni Taimiyah 19) [http://addariny.wordpress.com/2010/01/07/jenggot-haruskah/]

3). Ijma tentang masalah ini juga dikatakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953. (http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html)

 

Adakah Khilafiyah dalam masalah Jenggot?

Pembicaraan atau khilaf mengenai hukum memelihara jenggot itu secara garis besar terangkum dalam 4 (empat) pendapat masyhur. Namun sebelumnya perlu ditekankan bahwa khilaf ini sebataspada khilaf terhadap jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan. Khilaf ini tidak mencakup perbuatan mencukur pendek-pendek atau mencukur habis jenggot, sebab madzhab empat dan selainnya (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah) telah sepakat tentang keharamannya. Khilaf tersebut adalah sebagai berikut (sebagaimana disarikan oleh Abu Ahmad Al-Hadzaly dalam Multaqaa Ahlil-Hadits yang diambil dari kitab I’faaul-Lihyah hal. 29-30, Fathul-Baari 10/350, dan Juzzul-Masaalik 15/6):

aTidak memotong jenggot sama sekali dengan membiarkannya sebagaimana adanya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syafi’i dalam satu nukilan (Al-’Iraqi), sebagian ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan beberapa ulama yang lainnya.

Pendapat ini berhujjah dengan keumuman hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, lihat kembali dalil-dalil di atas, juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh: HR. Al-Bukhari no. 5553, 5554; dan HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan. Redaksi hadits-hadits tersebut mirip dengan hadits-hadits di atas yang sudah disebutkan

Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya (lihat Al-Ushul min ‘Ilmil-Ushul oleh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah). Menurut mereka, tidak ada dalil shahih, sharih (jelas), lagi setara yang memalingkan dari kewajiban ini.

Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :

قال ابن الرِّفْعة في حاشية الكفاية: إن الإمام الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق اللحية ، وكذلك نصَّ الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة على تحريم حلق اللحية

”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitabSyu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal. 31].

An-Nawawi berkata :

”Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali” [Syarh Shahih Muslim 2/154].

Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :

”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].

Lihat juga perkataan Al-Qurthubi dalam Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5; As-Saffarini Al-Hanbaly dalam Ghadzaaul-Albaab 1/376; dan Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y dalam Fathul-Bari 10/351 no. 5553.

b. Membiarkan jenggot sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah haji dan ’umrah dimana diperbolehkan memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tangan dari panjang jenggotnya. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas tabi’in, Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh Malik, dan ulama yang lainnya. Pendapat ini dibangun dengan dalil yang disampaikan oleh pendapat pertama yang kemudian ditaqyid dengan atsar Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

عن نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب وكان بن عمر إذا حج أو اعتمر قبض على لحيته فما فضل أخذه

Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].

عن نافع أن عبد الله بن عمر كان إذا أفطر من رمضان وهو يريد الحج لم يأخذ من رأسه ولا من لحيته شيئا حتى يحج

Dari Nafi’ : Bahwasanya Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila selesai bulan Ramadlan (‘Iedul-Fithri), dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji” [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ Kitaabun-Nikaah 1/396, dan darinya Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Al-Umm 7/253].

عن مروان يعني بن سالم المقفع قال رأيت بن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف

Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata : ”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia memotong apa-apa yang melebihi telapak tangannya” [HR. Abu Dawud no. 2357; hasan].

’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :

كانوا يحبون أن يعفوا اللحية إلا في حج أو عمر.

”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” (HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih).

Atha’ telah memutlakkan perbuatan dari para shahabat dan tabi’in untuk memotong jenggot ketika haji dan ’umrah. Sifat kemutlakan lafadh ’Atha’ ini dalam memotong jenggot ini dijelaskan oleh perbuatan Ibnu ’Umar dalam haji dan ’umrah bahwa yang dipotong itu adalah selebih dari genggaman tangan. ’Atha’ adalah salah satu murid Ibnu ’Umarradliyallaahu ’anhuma. Apa yang diriwayatkan oleh ’Atha’ ini sekaligus menafsiri apa yang diriwayatkan oleh ulama dari kalangan tabi’in lain yaitu Al-Qaasim bin Muhammad.

Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan ’umrah [Al-Muwaththa’ 1/318]. Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Beliau hanya menyukainya saja dan tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah 2/430].

Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :

”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui” [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.

Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata:

”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].

c. Diperbolehkan memotong jenggot yang terlalu panjang (yang melebihi batas genggaman tangan) sehingga membuat jelek penampilannya. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Malik bin Anas dan Qadli ’Iyadl.

Perkataan Imam Malik tentang bolehnya memotong jenggot karena panjangnya sehingga nampak padanya aib adalah sebagaimana terdapat dalam At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan Al-Muntaqaa karya Al-Baaji (3/32). (Dinukil melalui perantaraan risalah Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Asmary yang berjudul : Hukmul-Akhdzi minal-Lihyah yang dipublikasikan dalam www.saaid.net

Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;

”Mencukur, memangkas, dan mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama sebulan sebagaimana dibenci untuk memendekkannya” [Fathul-Baari 10/351 no. 5553].

Perkataan Al-Qadli ‘Iyadl tentang dibencinya membiarkan jenggot selama satu bulan jangan diartikan boleh mencukur selama satu bulan secara mutlak (sebagaimana dijadikan hujjah sebagian orang muta’akhkhirin). Maksud perkataan beliau adalah bahwa beliau membenci jenggot dibiarkan selama satu bulan jika telah melebihi satu genggaman tangan jika membuat jeleknya penampilan. Lihat perkataan beliau dalam Syarah Shahih Muslim

“…Di antara mereka (ulama) ada yang memberi batasan, apa-apa yang melebihi genggaman tangan maka boleh dihilangkan/dipotong…”

d. Disukai untuk memotong jenggot yang melebihi satu genggam secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu haji dan ’umrah. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan Hanafiyyah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Hanabilah, serta sebagian tabi’in.

Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah –rahimahumallah :

”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) : Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].

Ibnu ’Abidin Al-Hanafy berkata :

”Dan diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya – yaitu mencukurnya. Dan telah dijelaskan dalam An-Nihayah atas wajibnya memotong apa-apa yang melebihi genggaman tangan. Adapun mengambil kurang dari itu (yaitu memotong jenggot yang belum melebihi satu genggaman tangan) – sebagaimana yang dilakukan sebagian orang-orang Maghrib dan orang-orang banci, maka tidak seorang pun ulama yang membolehkannya. Dan memotong seluruh jenggot merupakan perbuatan orang-orang Yahudi Hindustan dan orang-orang Majusi A’jaam (non-Arab)” [Raddul-Mukhtaar2/418].

Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah membolehkan memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan, namun tidak boleh kurang dari itu.

Telah berkata Al-Khalaal : Telah mengkhabarkan kepadaku Harb, ia berkata : Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang memotong jenggot. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar memotongnya, yaitu rambut jenggot yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb berkata) : ”Seakan-akan beliau berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar tersebut”. Aku (Harb) bertanya kepada beliau : ”Apa hukumnya memelihara (jenggot) ?”. Beliau berkata : ”Telah diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (tentang perintah tersebut)”. Harb berkata : ”Seakan-akan beliau berpendapat tentang wajibnya memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya sama sekali)”.

Selanjutnya Al-Khalaal berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Harun, bahwasannya Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia berkata : ”Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seorang laki-laki yang memotong rambut yang tumbuh di kedua pipinya”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangan”. Aku (Ishaaq) berkata : ”Bagaimana dengan hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :Potonglah kumis dan peliharalah jenggot ?”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong karena panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan), dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”. (Ishaq berkata) : Aku melihat Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya” [Kitab At-Tarajjul min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114].

Tarjih : Pendapat yang paling kuat menurut kami adalah pendapat kedua yang membolehkan memotong jenggot jika telah melebihi genggaman tangan pada waktu haji dan ’umrah. Atsar Ibnu ’Umar merupakan pentaqyid yang sangat jelas, yaitu berkaitan dengan waktu dan batasan panjang yang diperbolehkan. Taqyid ini merupakan ijma’ (yaitu jenis ijma’ sukuti) yang terjadi di kalangan shahabat tanpa ternukil adanya pengingkaran. Dan sangat mungkin ini juga merupakan ijma’ yang terjadi di kalangan tabi’in. Apalagi diperkuat oleh atsar shahih dari ’Atha’ dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

Wajib hukumnya memelihara (membiarkan) jenggot menurut nash yang jelas dari As-Sunnah, dan haram hukumnya memotong lebih pendek dari genggaman tangan atau bahkan mencukur habis keseluruhan jenggot. Namun jika memang sudah terlalu panjang sehingga memperburuk penampilan, diperbolehkan untuk memotongnya dengan batasan yang telah ditentukan syari’at (tidak boleh lebih pendek dari satu genggam). [http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html]

 

Bersambung ke: Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (2) [Bolehkah Mencukur Jenggot-3]

3 comments on “Apakah Berjenggot, Celana di Atas Mata Kaki, dan Bercadar Merupakan Ciri-ciri Teroris? (2) [Bolehkah Mencukur Jenggot-2]

  1. Berjenggot atau tdk itu ketentuan Allah SWT, dan tdk semua manusia ditetapkan oleh Pencipta-Nya memiliki jenggot. Mnrt saya memelihara atau memotong jenggot itu sepenuhnya pilihan manusia, tdk berkaitan dengan hukum syariat.

Leave a comment